Kamis, 20 September 2012

CARA CEPAT BUAT YANG INGIN PINTAR DAN CERDAS ala SENTOK

Assalamu'alaikum pembaca setia Blog Horok yang dicintai Allah SWT... kali ini saya akan memberitahukan kepada anda semua tentang "cara cepat buat yang ingin pintar dan cerdas"...
Okee... perhatikan baik-baik ya,,,
gini nih temen-temen.. pernahkah kalian ingin jadi orang sukses. orang kaya, orang berpangkat dan sebagainya.. pasti dibenak kalian pengen semua kan !!!... ( pikiran orang yang nggak mau belajar)... santai aja temen-temen dalam tulisan yang kocar-kacir ini saya akan memberitahukan sedikit rahasia untuk mencapai hal tersebut.
pernahkah anda berfikir bagaimana kondisi sosial anda saat ini ? pasti jawaban kalian belum tahu... tuh gitu aja kalian masih binggung kan !!!! gini nih, pada hakekatnya kalian sudah mencapai titik kesuksesan tapi belum mencapai kesuksesan yang paling tinggi.. anda sudah merasa faham ?? pasti jawabnya masih binggung kan!! ... apakah kalian tahu, apa sih yang dinamakan pintar dan cerdas.. pasti kalo soal ini kalian sudah tahu. Nah kalo sudah gini pertanyaan lagi buat diri sendiri aja... "Apakah Kalian Bisa Membaca Dengan Baik dan Benar?".. maksud saya menyuruh anda begitu karena Proses awal untuk menjadi pintar dan cerdas adalah membaca. Membaca bukan hanya membaca buku, novel, cerpen dan lain-lain, tapi juga membaca kehidupan sosial orang-orang di sekitar anda, nah peru saya tegaskan lagi jika anda seorang muslim ( Beragama Islam) masih ingatkah anda dengan pelajaran waktu SD tentang ayat apa yang turun pertama kali kepada Nabi Muhammad?? pasti semua sudah tahu kalau ayat itu adalah ayat AL-Alaq yang menyuruh Nabi Muhammad membaca.. kalau anda memang ingin pandai maka Banyak-banyak lah membaca.. membaca pun belum tentu membuat anda pintar dan jangan lupakan kekuatan dari Do'a... aktivitas apapun kalau tanpa do'a bukan tidak mungkin akivitas itu akan sia-sia...Nah gimana pikiran anda setelah membaca sampai tulisan ini.. langsung aja cuy,, saya akan memberikan sedikit informasi mengapa Orang yang pintar belum tentu sukses ??? jawaban kalian pasti binggung kan !!!... gini nih Orang Pintar itu belum tentu sukses karena Dia tidak Cerdas.. divinisi cerdas sendiri menurut saya adalah Bagaimana kita Memanfaatkan Setiap Peluang yang ada dengan sedikit kreaktivitas yang kita miliki. Nah kalau anda sudah mengerti apa itu Cerdas dan Pintar,,,,maka jadilah orang Cerdas Juga Pintar dalam menghadapi kejamnya ancaman di era Globalisasi ini....
Okee semuanya........sekiranya cukup sampai disini dulu ya....
Wassalamu'alaikum wr. wb.

Minggu, 16 September 2012

TUGAS TERSTRUKTUR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Makalah Korupsi di Indonesia


TUGAS TERSTRUKTUR
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


Unsoed 

Disusun Oleh :
ILHAM                                   ( F1A011048 )


KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PURWOKERTO
2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Lukisan deskriptif melukiskan korupsi itu apa adanya. Kita menggumpulkan fakta, data, ataupun membuat statistik tentang korupsi atau kita mengadakan penelitian tentang korupsi itu. Mengadakan penelitian tentang korupsi di Indonesia tentulah sangat sulit, lagi pula menelan biaya yang tidak terkira.
Korupsi dalam statistik kriminal atau perkara dapat dilihat di Kejaksaan Agung, di Markas Besar keKpolisian RI, dan biro pusat statistik, tetapi terbatas mengenai perkara korupsi yang diputus oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung. Statistik di kepolisian hanya sampai pada perkara-perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri karena Kejaksaan Negeri tidak teratur memberi data kepada kepolisian tentang penyelesaian suatu perkara sampai pada putusan pengadilan.
Korupsi merupakan tantangan serius dalam pembangunan, merongrong demokrasi dan tata pemerintahan, mengurangi akuntabilitas dan representasi dalam kebijakan, menghambat penegakan hukum, menghasilkan ketidakadilan dalam penyediaan layanan, dan mengikis kapasitas kelembagaan pemerintah karena pengabaian prosedur. Sektor publik menekankan bahwa pemerintahan yang baik memerlukan standar tertinggi dalam integritas publik, keterbukaan, dan transparansi, serta sistem keadilan hukum.

Namun hal itu tidak terlaksana secara menyeluruh. Ada Kejaksaan Negeri yang mengirim pemberitahuan tentang kelanjutan penyelesaian suatu perkara, ada pola yang tidak melakukannya.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
            Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju adil dan makmur. Untuk tercapainya tahap lepas landas ekonomi lebih cepat dari pertumbuhan penduduk, sehingga korupsi memang dianggap masyarakat sebagai momok yang paling berbahaya di Indonesia.


B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Apa sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    ASAL KATA PENGERTIAN HARFIAH DARI KORUPSI
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio (Fockema Andreae: 1951) atau corruptus  (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
 Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: Corruption, corrupt; Prancis: corruption; dan Belanda corruptie. Dapat kita memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Indonesia: ’’korupsi’’.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, pemyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary.
Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan pernyuapan seperti disebut di dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins (1977).
Kemudian kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: ’’Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sgok dan sebagainya’’ (Poerwadarminta, 1976).
Di Malaysia terdapat peraturan anti korupsi. Di situ tidak dipakai kata korupsi melainkan kata peraturan ’’anti-kerakusan’’. Sering pula di sana dipakai istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah), yang menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Abd. Bin Nuh et.al.: tanpa tahun).
Dengan pengertian secara harfiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya.
Seperti disimpulkan dalam Enclyclopedia Americana, korupsi adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita meendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Al-atas dalam bukunya The Sociologi of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi.
Begitu pula Mubyarto (yang rupanya menyorot korupsi/penyuapan dari segi politik dan ekonomi seemata), mengutip pendapat Smith (Teodore M. Smith,   ”Corruption Tradition and Change”, Indonesia, Cornell University, No. 11 April 1971) sebagai berikut:
  ”On the whole corruption in Indonesia appears to present more of a recurring political problem than an economic one. It undermines the legitimacy of the government in the eyes of the young, educated elite and most civil servants….. Corruption reduces support for the government among elites at th province and regency level” ( Secar keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya…. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten) (Mubyarto. 1980:60).
            Lebih tegas lagi apa yang dikatakan oleh Gunnur Myrdal (1977:166) sebagai berikut:
  “The problem is of vital concern to the government of South Asia, because the habitual practice of bribery and dishonesty paves the way for an authoritarian regime which justifies it self by the disclosures of corruption and the punitive action it takes against the offenders. Elimination of corruption has regularly been advance as main justification for military take overs”. ( Masalah itu (korupsi; penulis) merupakan suatu yang penting di Asia Selatan, karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan kepada penguasa otoriter, yang membenarkan dirinya dengan jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer).
Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington:
   ”akan tetapi tidak berani bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini mengganggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai polotik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampongkan, tidak diberi untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jendral, maka sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas” (Huntington 1977, dalam Moctar lubis dan james C. Scott, Bunga Rampai karangan-karangan mengenai Etika Pegawai Negeri:133).
            Tentang titik tolak analisa ekonomi (pasar) mengenai korupsi, Mubyarto (ibid: 65), mengutip definisi Clive Gray (”Civil service Compansation in Indonesia”; BIES, Vol. XV, No. 1, March 1979), dan memberi komentar:
   ”Dengan definisi korupsi demikian, maka sogokan, uang siluman atau  pungli tidak lain merupakan ”harga pasar” yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali ”membeli” barang tertentu. Dan barang barang tertentu itu yang akan dibeli berupa keputusan, izin, atau secara lebih tegas : tanda tangan. Secara teoritis harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran, dan setiap kali akan terjadi ”harga keseimbangan”. Karena dalam model ekonomi pasar, juga ada pengertian ”harga diskriminaasi” maka dalam pasaran tanda tangan pejabat juga ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan ”ekonomi kuat” dan golongan ”ekonomi lemah”.

  1. SEBAB ORANG MELAKUKAN PERBUATAN KORUPSI di INDONESIA
Ada beberapa sebab terjadinya perbuatan korupsi di Indonesia antara lain:
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Mengenai masalah  kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri di Indonesia telah dikupas oleh B.Soedarso yang menyatakan antara lain:
“pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya dengan sebab yang paling gampang dihubungkan, misalnya kurang gaji pejabat-pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajement yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang berliku-liku dan sebagainya”.
            Kemudian B. Soedarso rupanya sadar bahwa semua sebab yang disebutnya itu tidaklah mutlak, maka ia merumuskan uraiannya di alinea lain sebagai berikut:
“banyak faktor yang saling bekerja dan saling mempengaruhi satu sama lain sampai menghasilkan keadaan yang kita hadapi. Yang dapat dilakukan hanyalah mengemukakan faktor yang saling berperan. Causaliteits redereningen harus sangat berhati-hati dan dijauhkan dari gegabah. Buruknya ekonomi belum tentu dengan sendirinya menghasilkan suatu wabah korupsi di kalangan pejabat kalau tidak ada faktor-faktor lain yang bekerja. Kurangnya gaji bukanlah faktor-faktor yang menenntukan orang berkecukupan banyak yang menentukan korupsi. Prosedur yang berliku-liku bukanlah pula hal yang perlu di tonjolkan karna korupsi ini meluas di bagian-bagian yang sederhana, dikelurahan, dikantor penguasa-penguasa kecil, di kereta api, di stasiun-stasiun, di loket penjualan karcis, kebun binatang dan sebagainya”. (B. Soedarso 1969:10,11).

            Namun demikian kurangnya gaji pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia. Hal ini dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker dalam tulisannya berjudul ”Indonesia 1979: The record of three decades” (Asia Survey Vol. XX No.2, 1980:123).
        

         Begitu pula yang ditunjuk oleh Schoorl dengan mengatakan:
“Di Indonesia dibagian pertama tahun enam puluhan situasinya begitu merosot, sehingga untuk golongan-golongan besar dari pegawai sebulan hanya sekedar cukup untuk makan dua minggu. Dapat dipahami, bahwasituaasi demikian itu para pegawai terpaksa mencari penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya dengan uang ekstra” (Schoorl, 1980: 180).
            Apa yang ditulis Schoorl ini  didengarnya sendiri ketika berkunjung ke Indonesia pada permulaan tahun 1966.
2. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia
            Ada juga penulis yang menunjuk latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Soedarso yang menunjuk  beberapa penyebab dari korupsi selanjutnya menguraikan panjang lebar tentang latar belakang kultur ini. Antara lain dikatakan:
“Dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia maka apabila miliu itu ditindak lanjut, maka yang perlu diselidiki tentunya bukan kekhususan miliu orang satu per satu, melainkan yang secara umum meliputi,  dirasakan dan mempengaruhi kita semua orang Indonesia. Dengan demikian,mungkin kita bisa menemukan sebab-sebab masyarakat kita dapat menelorkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa korupsi itu secara diam-dian ditoleler, bukan oleh penguasa ,tetapi oleh masyarakat sendiri . kalau masyarakat umum mempunyai semangat anti korupsi seperti para mahasiswa pada waktu melakukan demonstrasi anti korupsi,maka korupsi sungguh-sungguh tidak akan dikenal.” (B. S oedarso 1969:14).
            Pendapat ini mirip pendapat syed Hussein al-atas yang mengatakan bahwa mayoritas masyarakat yang tidak melakukan perbuatan korupsiseharusnya berpartisipasi dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh minoritas. Cara ini disebut siskampling (sistem keamanan lingkungan).
            Lebih lanjut B. Soedarso meneruskan pula secara panjang lebar tentang sejarah kultur Indonesia mulai zaman multatuli, waktu penyalahgunaan jabatan merupakan suatu sistem. Ditulisnya:
   “Selama dalam jabatan ( maksudnya :melaporkan kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh Bupati lebak dan wedana parangkuan (Banten  selatan) kepada atasannya dan meminta supaya terhadap mereka ini dilakukan pengusutan. Menurut Douwes Dokker, Bupati tersebut telah menggunakan kekuasaan melebihi daripada yang telah ditentukan oleh peraturan, untuk memperkaya diri. Dalam keadaan social seperti yang telah dibentangkan dimuka, dalam suasana ketololan pikiran tentang hubungan penguasa dengan rakyat, maka kejahatan yang timbul diantara penguasa dengan sendirinya adalah penyalahgunaan untuk memperkaya diri dengan memfaatkan kebodohan serta onderdanigheid penduduk. Tentu saja disini perlu sekali lagi di ingat bahwa yang dimaksud dengan penyalahgunaan adalah menurut ukuran modern, ukuran kultur yang telah menelorkan KUHP, sebab dalam rangka pandangan kuno tidak ada pengertian penyalahgunaan kekuasaan.
   Apa yang menurut ukuran baru adalah penyalahgunaan kewibawaan, kekuasaan dan wewenaang, pada waktu itu terjadi stelsel, korupsi menjadi sistem” (Ibid:25).
            Mungkin pertanyaan diatas terlalu berani, namun dari sejarah berlakunya KUHP di Indonesia penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia oleh pejabat-pejabat memang telah diperhitungkan secara khusus oleh pemerintah. Hal ini nyata disisipkannya pasal 432 KUHP (kejahatan-kejahatan knevelarij) dalam KUHP karena dengan pasal yang ada dalam Ned. W.v.s . mengenai knevelarij yaitu pasal 366 (= pasal 425 KUHP),dipandang kurang memadai untuk masyarakat indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung  untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendir. Pasal 366 Ned. W.v.S. mengandung salah satu unsur yaitu in de uitoefening zijner bedizening (pada waktu melaksanakan jabatannya) yang menyatakan bahwa pejabat atau pegawai negri melakukan kejahatan “pada waktu melaksanakan jabatannya”. Padahal bagi banyak pejabat atau pegawai negeri Indonesia sulit ditentukan kapan ia melaksanakan jabatannya. Lain dari pejabat atau pegawai negeri di belanda, ia bisa melaksanakan jabatannya dimana dan kapan saja (Van’t Hof, tanpa tahun).
            Memang benar pejabat atau pegawai negeri Indonesia dapat saja melaksanakan jabatannya dirumahnya sendiri dan memang rakyat akan menikmatinya karena keterbelakangannya, hal mana tidak akan terjadi di Belanda.  Demikianlah maka dalam pasal 423 KUHP itu kata-kata in de uitoefening zijner bedizening tidak terdapat. Kedua pasal 423 da 425vKUHP itu dikenal dengan nama knevelarij yang menurut terjemahan KUHP buah tangan Moeljatno 1979 diterjemahkan dengan ”pemerasan”, oleh Engelbrecht dengan ”kerakusan” , Susilo dengan Sunarto dengan ”pemintaan pemaksa” sedangkan kitab undang-undang hukuman terbitan balai pustaka tahun 1940 menerjemahkannya dengan ”perbuatan aniaya”. Mirip dengan dengan ini Supatro menerjemahkannya ”aniaya dengan pendayaan serta dengan menjepit”(Cassuto, 1931). Terjemahan-terjemahan ini akan diuraikan pada bagian belakang tulisan ini, khususnya pada penggupasan pas 423 dan 425 KUHP itu.
3. Manajemen Yang Kurang Baik dan Kontrol Yang Kurang Efektif dan Efisien
            Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu akan memberi peluang orang untuk korupsi. Sering dikatakan makin besar anggaran pembangunan sering besar juga kemungkinan terjadinya kebocoran.
            Kelihatannya pemerintah, khususnya Menteri Penertiban Aperatur Negara dan Operasi tertib telah memperhatikan hal ini, yang nyata pada peningkatan frekuensi pendidikan dan latihan di kalangan pejabat yang bergerak di bidang pengawasan. Atas kerja sama antara Menteri Aparatur negara dan Opstib, dan lembaga Administrasi Negara telah selesai dididik semua unsur pemeriksa pada Inspektorat Jendral Departemen dan Lembaga Negara, Pemerintah I dan II dalam tahun 1979-1980, sebanyak 25 angkatan secara keseluruhan.dalam kurikulumnya tercantum selain masalah management dan control, juga terdapat mata pelajaran tindak pidana korupsi. Begitu pula sekolah staf dan pimpinan administrasi (SESPA)  sejak tahun 1980-1981 bertemakan : ”peningkatan built in control dalam rangka sistem pengawasan terpadu bagi kebutuhan pembangunan nasional”. Sejak itu kurikulumnya antara lain ”Tindak Pidana Korupsi”. Untuk itu para pengawas dan pemeriksa dibekali pengetahuan tentang masalah korupsi khususnya dalam rangka hukum pidana.
            Sehubungan dengan maksud ini dikeluarkan pula keputusan Presiden No.18 tahun 1981. satu dan lain ialah agar pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan APBN pada khususnya berjalan lancar dan bebas dari hambatan ataupun kebocoran seperti korupsi.

4. Modernisasi
            Ada pula penulis yang mengatakan penyebab korupsi ialah Modernisasi. Huntington menulis:
   ” korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu dengan yang lain, dan dalam masyarakat yang  sedang tumbuh korupsi lebih umumdalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari sana-sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat” (Huntington 1977, dalan Mochtar Lubis dan Scott: 121).
         Mengapa modernisasi mengembangbiakkan korupsi, jawabannya menurut Huntington sebagai berikut:
a.       Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.
b.      Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber kekayaaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal itu belum dapat diterima oleh golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat.
c.       Modernisasi merangsang korupsi karena perebahan-perubahan yang diakibatkan dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di negara-negara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaaan pemerintah dan melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.
Mengenai akibat korupsi ada dua pendapat. Ada yang mengatakan korupsi itu tidak selalu berakibat negatif, kadaf-kadang berakibat positif, manakala korupsi itu berfungsi sebagai uang pelicin seperti fungsi minyak pelumas pada mesin. Pendapat pertama ini banyak dianut oleh peneliti barat. (Schoorl, 1980 : 184).
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa korupsii itu tidak pernah membawa akibat positif, seperti Gunnar Myrdal yang mengatakan antara lain:
1)      Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2)      Korupsi mempertajam permasalahan masyarakaat plural sedang bersamaan dengan itu kesatuan negara bertumbuh lemah. Juga karena turunnya martabat pemerintahan, tendensi-tendensi itu membahayakan stabilitas politik.
3)      Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak hanya memperlancar  prosedur administrasi, tetapi berakibat juga adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi agar dengan demikian  dapat menerima uang suap. Disamping itu, pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang telah diputuskan, dipersulit atau diperlambat karena alasan-alasan yang sama. Dalam hal itu Myrdal bertentangan dengan pendapat yang lazim, bahwa korupsi itu harus dianggap sebagai semir pelicin (Schoorl, 1980:184;Myrda., 1977:166, 167, 170).
Myrdal menyebut negara-negara di Asia Selatan sebagai the soft state dimana merajalelanya korupsi merupakan salah satu aspek dan pada umumnya mengakibatkan disiplin sosial yang rendah. Korupsi merupakan hambatan besar bagi pembangunan (ibid:170,171).
Koentjarningrat pun memandang korupsi sebagai salah satu kelemahan dalam pembangunan. Beliau mengatakan:
”Jelaslah bahwa banyak yang masih harus kita rubah kalau kita hendak mengatasi penyakit-penyakit  sosial budaya yang parah seperti krisis otoriter, kemacetan administrasi, dan korupsi menyeluruh yang mengganas dalam masyarakat kita dan jangan biarkan korupsi menguasai diri kita”.
ANALISA SAYA
            Saya dapat menerima pendapat Gunner Myrdal sepenuhnya bahwa jalan untuk memberantas korupsi di negara Indonesia adalah:
1.      Menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah;
2.      Menaikkan moral pegawai tinggi;
3.      Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal;
4.      Presiden harus memberi contoh yang baik.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.      KESIMPULAN
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.
2.      SARAN
Tindakan korupsi di Indonesia memang sudah menjamur dari dahulu sampai sekarang dan untuk membrantas korupsi di Indonesia  dibutuhkan tekad dan keberanian yang tinggi. Maka kita sebagai mahasiswa sekaligus menjadi harapan bangsa janganlah mempraktekan kegiatan korupsi dan ayo kita sama-sama memberantas korupsi dari induknya sampai akar-akarnya.


PENUTUP
            Semua segala yang diuraikan didalam tulisan ini bermanfaat bagi kalangan teori dan praktek hukum, dan semoga kalangan luas tergugah pula untuk memikirkan jalan terbaik untuk memberantas korupsi di Indonesia.
  
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.








Karangan yang mengandung satu judul bab dan mengandung dua judul sub-bab


Nama   : Ilham
                                                                                                            NIM    : F1A011048
                                                                                                            Jurusan : Sosiologi
Tugas  6
Buatlah karangan yang mengandung satu judul bab, bukan pendahuluan dan mengandung dua judul sub-bab. Di dalam karangan tersebut ada kutipan kurang dari empat baris sebanyak satu buah.
Jawab :
BAB I

PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

A.    Latar Belakang Masalah

Pornografi dan pornoaksi dalam masa demokrasi ini merupakan masalah yang sifatnya sudah nasional. Perkembangannya sudah sampai ke daerah-daerah, sehingga permasalahan pornografi dan pornoaksi di dalam masyarakat saat ini bukannya dapat ditanggulangi ataupun diberantas, tetapi malah sebaliknya marak dan berkembang, sehingga banyak yang menjadi korban.
Permasalahan pornografi berhubungan erat dengan dengan norma susila yang terdapat didalam masyarakat,sehingga merupakan hal yang berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya,terlebih lagi dengan sifat geografis serta antropologis yang dimiliki Indonesia,dan juga tentang seni dimana setipa daerah telah memiliki senu yang berbeda-beda baik seni tari,seni lukis,dan seni patung yang terkadang saling bertentangan dengan daerah lainnya.

B.     Rumusan Masalah

1.         Apa definisi dari Pornografi dan Pornoaksi ?



BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pornografi dan Pornoaksi

Istilah pornografi bila dilacak pengertiannya secara etimologis berasal dari bahasa Yunani kuno “porne” yang berarti wanita jalang, dan “graphos” yang artinya gambar atau lukisan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 696), pornografi diartikan sebagai: (1). Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau untuk membangkitkan nafsu birahi, mempunyai kecenderungan merendahkan kaum wanita; (2). Bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks. Esther D. Reed (1994: 66) mengatakan, pornografi secara material menyatukan seks atau eksposur yang berhubungan dengan kelamin sehingga dapat menurunkan martabat atau harga diri.


Karangan yang mengandung bunyi kutipan lebih dari empat baris


Nama     : Ilham
                                                                                               NIM       : F1A011048
                                                                                               Jurusan   : Sosiologi
Tugas  5
Buatlah karangan yang di dalamnya mengandung bunyi kutipan lebih dari empat baris sebanyak dua buah dan kurang dari empat baris sebanyak satu buah. Panjang karangan minimal satu halaman. Buatkan pula daftar pustakanya  serta tidak boleh fiktif.
Jawab :
Mitologi Kebudayaan Jawa

Masyarakat Jawa merupakan ladang potensial yang masih memandang segudang informasi budaya untuk dapat digali seiring dengan perkembangan waktu. Harus diakui bahwa usaha untuk mengungkap alam pikiran, pandangan, dan kehidupan orang Jawa tidak akan pernah tuntas. Bahkan, diperlukan cara baru dalam mengungkap misteri kebudayaan Jawa tersebut. Hal itu, seperti yang dikatakan oleh Magnis Suseno (1984:1) sebagai berikut:

Kebudayaan Jawa mempunyai ciri khas yaitu terletak dalam kemampuan luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir tersebut dapat mempertahankan keasliannya. Selanjutnya, kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam mencerna masukan-masukan budaya dari luar.

Hal tersebut menjadikan kebudayaan Jawa kaya akan unsur-unsur budaya. Kemudian, menyatu dan menjadi miik kebudayaan Jawa seperti sekarang ini. Berbagai macam persilangan budaya justru telah memberikan warna terhadap kedinamisan kebudayaan Jawa.
Pandangan masyarakat Jawa terhadap dunia mengisyaratkan bahwa baik dunia yang secara fisik kelihatan maupun dunia yang tidak kelihatan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia yang hidup di dunia ini tidak hanya menjalin komunikasi dengan sesama saja, melainkan dengan makhluk supranatural. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila dalam masyarakat Jawa terdapat perilaku-perilaku yang menandai hubungan antara manusia dan makhluk supranatural. Jong (1985:10) mengatakan, di alam pikiran mistik dan mitos dapat tercermin suatu sikap hidup.

Di dalam masyarakat Jawa ada mitologi religius yang hampir diterima secara universal, yang menyebabkan ketaatan emosional dan intelektual yang mendalam, seperti: mitologi wayang, mitologi Kanjeng Ratu Kidul, penguasa gunung dan penguasa hutan. Pada kesempatan ini, penulis  berfokus pada mitologi Kanjeng Ratu Kidul. Hal itu, seperti yang dikatakan Choy (1976:13) sebagai berikut :

Kanjeng Ratu Kidul tidak hanya merupakan legenda untuk sebagian orang Jawa ia benar-benar ada, tetapi karena keberadan alam supranatural yang dipahami orang Jawa sampai taraf tertentu tidak dapat diterangkan maka praktik-praktik keagamaan yang mengarah pada penghormatan penguasa dunia supranatural justru menjadi pintu masuk dalam memahami alam pikiran orang Jawa tersebut.

Pada prinsipnya, mitologi Kanjeng Ratu Kidul digunakan oleh penguasa Kasultanan Yogyakarta sebagai kerangka acuan dalam menjalankan pemerintahan. Selain itu, juga digunakan untuk menjamin keselamatan dan ketentraman hidup serta digunakan sebagai pengantara manusia dengan alam supranatural.

daftar pustaka dengan ketentuan Mengandung sembilan nama penulis, Nama-nama tersebut menyebar sebagai penulis buku teks, penulis artikel koran, artikel majalah, artikel yang diakses dari internet, Tidak boleh fiktif.


Nama               : Ilham
NIM                : F1A011048
Jurusan            : Sosiologi

Tugas 4
Buatlah daftar pustaka dengan ketentuan sebagai berikut :
a.       Mengandung sembilan nama penulis
b.      Nama-nama tersebut menyebar sebagai penulis buku teks, penulis artikel koran, artikel majalah, artikel yang diakses dari internet
c.       Tidak boleh fiktif.

Jawab :
Daryanto. Sabtu, 9 Juni 2012, “Gamelan Mulai Masuk Sekolah”, Radar Banyumas, Purwokerto.
David, Renton. 2009, Membongkar Akar Krisis Global, Cetakan ke-1, CV Langit Aksara,   Yogyakarta.

Fuadi, Ainul dkk. “Budaya Nusantara Kebudayaan Jawa”,  http://ml.scribd.com/Budaya-Jawa, diakses pada 13 Juni 2012.

Haryadi. Sabtu, 9 Juni 2012, “Jaga Kontinuitas Usaha”, Radar Banyumas, Purwokerto.
Ratna. “Tekanan Darah Tinggi (Faktor Penyebab dan Diet Yang Sehat Untuk Tekanan Darah Tinggi)”, http://artikeltentangkesehatan.com, diakses pada 26 Juni 2012.

Sobirin. “Hasip Berkreasi Memproses Plastik Bekas”,  http://yusmanov.blogspot.com,  diakses pada 26 Juni 2012.

Soekanto, Soerjono. 2010, Sosiologi Suatu Pengantar, Cetakan ke-43, PT Gravindo Persada, Jakarta.

Waluyo, J. 2011, English Coversation, Cetakan ke-1, Mahirsindo Utama, Surabaya.
Widiarti, Rahayu. 2010 “Tantangan Berat Sejak Awal”, Bola, Nomor :12- 2 September, Jakarta.



SOSIALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SOSIAL


MAKALAH
FILSAFAT ILMU SOSIAL
TENTANG  SOSIALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SOSIAL
Description: Description: C:\Documents and Settings\sentra computer\My Documents\Downloads\logo_UNSOED.jpg
Disusun Oleh:
ILHAM           (F1A011048)

 KEMENTRIAN  PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
                                               PURWOKERTO
2012

KATA PENGANTAR

            Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya diberi kemampuan untuk menyusun makalah yang berjudul “Filsafat Dengan Cabang – Cabang Ilmu Yang Lain”.
            Makalah ini disusun atas tugas dan kewajiban saya sebagai mahasiswa dalam mata kuliah Filsafat Ilmu Sosial.
            Tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih atas bimbingan, petunjuk, dan bantuanya kepada :
1.      Yang terhormat Bapak Prof.dr.Imam Santoso,M.Si , selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu Sosial.
2.      Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, sehingga makalah ini bisa tersusun dengan baik.
Maka kepada beliau-beliau tersebut saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan bimbinganya.
Dalam menyusun makalah ini sudah sewajarnya terdapat kesalahan-kesalahan,  meskipun penulis sudah berusaha menyusun makalah ini secara ringkas dan jelas. Namun, penulis tidak lepas dari kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan  makalah ini,  penulis  mengharapkan kritik dari pembaca dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat baik secara teoritik maupun praktis.


                                                                                                                   


BAB 1

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Dalam perubahan dan kemajuan yang bersama-sama dialami oleh umat manusia banyak sekali persoalan-persoalan yang minta perhatian. Namun dalam tulisan ini hanya akan dikupas satu hal saja sebagai pembatasan diri. Kita dewasa ini mengalami kesadaran ideologis yang kuat. Dalam suasana umum itu terdapat satu hal yang urgen, yaitu tampilnya ke muka suatu “Grundform” dari kehidupan
manusia, yang disebut sosialitas (Drijarkara, 1962: 8). Sifat dan sikap dasar ini merupakan suatu unsur yang maha penting dalam cita-cita pembangunan kita, dalam perombakan dan perubahan kita.
       Dewasa ini banyak soal menyangkut kehidupan sosial yang perlu mendapatkan penjelasan. Kita berhadapan dengan suatu ironi: di satu pihak masyarakat kita boleh dikata mengalami kemajuan-kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memberikan kemudahan kemudahan bagi kehidupan modern; tetapi dari lain pihak kita masih menyaksikan adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin, peperangan antar suku atau pun antar negara, perbantahan sekitar demokrasi, hak asasi manusia, partisipasi politik, moral kehidupan dan lain sebagainya. Kemajuan-kemajuan ilmu ternyata tidak bisa menjelaskan persoalan-persoalan ini dan karenanya juga tidak mampu memberikan jalan keluar. Oleh karena itu perlu dan minta direnung-renungkan sampai keakarakarnya. Tematisasi ini dapat dilakukan oleh macam-macam ilmu pengetahuan sosial dengan cara masing-masing. Misalnya: psikologi, sosiologi, antropologi budaya, dan lain sebagainya (dapat dan harus menyumbangkan jasanya untuk memperdalam dan memperkuat pengertian kita). Namun dalam tulisan ini akan membahas “Sosialitas dalam Perspektif Filsafat Sosial”, sebab filsafat social boleh dikatakan sebagai usaha filusuf untuk memberi bimbingan dan jawaban supaya dapat mengatasi problema-problema sosial (Beck, 1967: 1-4). Filsafat sosial merupakan filsafat yang membicarakan kepentingan yang menyangkut masyarakat manusia yang (begitu luas) hubungan sosial manusia, atau kehidupan bersama dari manusia di dunia ini dalam seluruh dimensinya. Filsafat social mengupas persoalan manusia dalam hubungannya satu sama lain dalam kesatuan mereka, nilai-nilai dasar yang mengikat mereka sehingga menjadi kesatuan sesuatu masyarakat atau kesatuan sosial, bagaimana kesatuan sosial ini dipertahankan, sejauh mana keterbatasannya ataupun prospek kemampuannya dalam memperkembangkan diri.


















BAB II

 PEMBAHASAN

A.   Sosialitas Manusia

Tidak dapat disangkal bahwa menurut hakikatnya manusia adalah pribadi, makhluk individu. Tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa ia berhubungan dengan makhluk-makhluk lainnya, termasuk manusia lainnya. Ia tidak tinggal dan hidup sendirian saja. Sebaliknya selalu berada bersama dan berhubungan dengan makhluk-makhluk serta orang-orang lainnya. Hal ini sejalan dengan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang multidimensional (monopluralis) dan memiliki taraf yang bertingkat atau berjenjang, yaitu fisis-kemis; biotis; psyke, human (Bakker, 1992: 114). Hubungan keempat taraf di dalam manusia ini dari satu pihak memiliki
‘kesesuaian relatif’ (berkegiatan sendiri, menurut hukum dan mekanisme sendiri); dari lain pihak mereka juga ‘berhubungan’ erat satu sama lain untuk mewujudkan satu manusia yang utuh. Mereka merupakan bagian tinggi dan rendah. ‘Yang rendah’ mendasari yang tinggi dan mengarahkannya. Namun juga memberikan ruang gerak dan kuasa penentuan bagi yang lebih tinggi. Sedangkan, ‘yang tinggi’ mewarnai dan menatar yang rendah, sehingga dalam manusia sendiri taraf rendah itu sudah lain daripada bahan pembangunan, atau daripada pohon dan hewan. Namun yang tinggi tidak dapat mengabaikan yang rendah begitu saja. Ia akan atau diperingati oleh taraf yang lebih rendah.
Keempat taraf itu semuanya mengambil bagian dalam kerohaniankejasmanian manusia. Semua taraf itu berupa dimensi-dimensi yang digayakan dan diorganisasi dari dalam; atau sebaliknya: berupa gaya/intensitas yang menghayati diri dalam wujud tertentu.
Manusia sebagai realitas di samping sebagai makhluk yang multidimensional dan memiliki taraf yang bertingkat juga berstruktur bipolaritas, artinya mempunyai dua aspek realitas yang tidak dapat diekstrimkan, yang tidak dilihat secara sektoral dalam salah satu aspek kehidupannya, tetapi secara integral dengan mengikutsertakan dan memperhatikan segala segi yang membentuk pribadi manusia dan yang mempengaruhinya, yaitu materialitas-spiritualitas; transendensi-imanensi; individualitas-sosialitas; eksteriorisasi-interiorisasi (Soerjanto, 1989:55-56).
Sosialitas manusia merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Sosialitas manusia itu suatu unsur yang tidak dapat tidak ada pada kodrat manusia. Adapun ciri-ciri dasar sosialitas manusia oleh itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, sosialitas manusia atau hubungan antarmanusia mempunyai dimensi yang sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak mungkin hidup sendirian, “no man is an island” kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politicon”, makhluk sosial, sedang para filsuf eksistensialis pun menegaskan kembali secara baru eksistensi manusia sebagai Mitsein (Heidegger) atau Coexistence (Gabriel Marcel). Inilah hakikat sejati dari sosialitas manusia.Manusia tidak dapat disebut sebagai manusia selain berkat kehidupan sosialnya,kebersamaannya dengan yang lain. Sosialitas merupakan ciri hakiki yang tak teringkari, bukan ciri yang ditambahkan pada manusia atau kondisi yang ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahirnya .
Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat manusia mengarah pada kemanusian yang lebih luas, penuh dan lebih sempurna. Sosialitas manusia adalah sosialitas yang terbuka, yang prospektif, yang dapat berkembang ke arah yang baik, sejauh anggota-anggota masyarakat menyadari prospek dan bertanggungjawab atasnya. Meskipun demikian sebagaimana penjelasan di atas perlu diketahui bahwa hubungan sosial itu sangat kompleks dan ,meliputi taraf-taraf yang berbeda. Contoh: hubungan yang dialami anak-anak berlainan dengan orang dewasa, demikian juga pengalaman sosial orang-orang primitip berlainan dengan orang-orang modern. Yang menjadi pertanyaan di sini: Apakah ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara keduanya? Apakah masyarakat berkembang secara evolutip dari yang sederhana menuju yang kompleks? Sampai saat ini terdapat beberapa teori yang sulit didamaikan. Hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan filsafat sosial yang penting.
Ketiga, hubungan sosial yang terjadi ada 2 (dua) sebab, yaitu : (1) hubungan sosial terjadi karena ikatan yang akrab entah karena kesamaan klas, etnis, religi atau budaya lainnya. Hubungan sosial ini terjadi lebih karena naluri primordial, alami. Oleh karena itu hubungan sosial ini lebih bersifat emosional; ikatan yang terjadi bersifat “dari dalam” anggota-anggota kelompok sosial itu. (2) Hubungan sosial terjadi karena saling berkebutuhan satu terhadap yang lain. Hubungan sosial ini lebih bersifat rasional dan menghasilkan pembagian social dalam fungsi-fungsi yang teratur; ikatan yang terjadi bersifat “dari luar”. Dalam sosiologi kelompok sosial yang pertama disebut “Paguyuban” dan kelompok sosial yang kedua disebut “Patembayan”.
Keempat, kodrat sosial manusia sebagai kenyataan kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka “otonomi dan kebebasan” manusia, yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk hubungan sosial.

A.1 Kerangka  Sosialitas  Manusia
 Berdasarkan pengalaman konkrit yang dapat kita lihat dan alami sebagai manusia, perjumpaan manusia satu dengan manusia yang lain terjadi berkat adanya perantara atau medium. Terdapat 2 (dua) medium perjumpaan manusia:
(1) medium tubuh/dunia fisik; (2) Yang Transenden (Sudiarja, 1995: 5-6).
Medium pertama merupakan medium yang teraih langsung oleh manusia. Tubuh manusia merupakan medium awal, paling primitif. Tanpa tubuh, manusia tidak mungkin berjumpa dan berkomunikasi dengan yang lain. Namun tubuh itu dapat diperluas menjadi dunia, yakni kondisi-kondisi fisik di sekitar dan yang ada dalam jangkauan manusia. Dalam pengertian ini sosialitas manusia tidak terpisahkan dari kerangka dunia, atau alamnya dimana manusia hidup dan bergaul.
Sosialitas manusia dalam pengertian kerangka medium kedua dapat dijelaskan sebagai berikut. Keterbukaan sosialitas manusia sejalan dengan ciri-ciri sosialitas sebagaimana tersebut di atas sebenarnya juga mengundang persoalan mengenai kemungkinan adanya “sesuatu” di luar dunia ini, bukan hanya sebagai “yang lain” (dari dunia ini) melainkan sebagai sesuatu “Yang Lain sama sekali” yang tak teraih oleh persepsi inderawi atau kemampuan fisik manusia, yaitu “sesuatu” yang merangkum dunia ini, sebagai “Yang Lebih Besar” dari dunia; “Yang Transenden”. Kerangka ini menempatkan manusia dalam kekecilan dan keterbatasannya.

A.2 Prinsip-Prinsip Dasar Sosialitas Dalam Berbagai Aliran
Sosialitas sebagaimana diterangkan di atas menggambarkan bahwa secara hakiki manusia selalu hidup dalam kebersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Namun bagaimanakah sifat kebersamaan itu? Dalam sejarah pemikiran filsafat terdapat pelbagai jawaban yang diberikan oleh para pemikir (filsuf) dan jawaban itu tak jarang terjadi kontroversi antara yang satu dengan yang lain oleh karena titik tolak dan anggapan yang sangat berbeda. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya berbagai aliran. Aliran-aliran itu antara lain: Eksistensialisme, individualisme, liberalisme, personalisme, kolektivisme, sosialisme, totalitarisme, dan lain sebagainya.
A.2.1 Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah paham atau aliran yang menegaskan bahwa tidak ada alam, selain alam manusia, alam dari subjektivitas manusia. Aliran ini memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni kesadarannya yang langsung dan subjektif. Inti kehidupan manusia itu mencakup keadaan hati, kekhawatiran dan keputusannya. Untuk itu aliran ini menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang yang mengenai manusia, yaitu sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri (Dwi Siswanto, 2001: 32). Aliran ini merumuskan hubungan manusia secara radikal. Di antara para filsuf eksistensialis pun dalam merumuskan juga tak jarang terjadi kontroversi. Filsuf eksistensialis yang secara menonjol berbicara masalah sosialitas (hubungan antar manusia), antara lain: Martin Buber, Gabriel Marcel, Emmanuel Levinas, Jean-Paul Sartre.

A.2.2 Individualisme, Liberalisme, Personalisme
            Individualisme. Menurut individualisme nilai tertinggi manusia adalah perkembangan dan kebahagiaan individu. Masyarakat (kebersamaan) sematamata merupakan sarana bagi individu untuk mencapai tujuannya. Masyarakat sekedar melayani individu, contoh pemikiran ini sebagaimana dikemukakan antara lain oleh Rene Descartes, Thomas Hobbes, J.J. Rousseau.
Liberalisme merupakan perwujudan individualisme dalam bidang social ekonomi-politik. Bagi liberalisme kebebasan individu adalah nilai tertinggi dalam kebersamaan. Liberalisme mengharapkan bahwa kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat akan semakin maju bila bakat-bakat dan tenaga individu semakin dibiarkan berkembang dengan bebas. Negara harus melindungi kebebasan individu-individu (dan kelompok-kelompok) dalam masyarakat. Untuk itu kekuasaan negara harus dibatasi dengan ketat. Dibidang ekonomi liberalism melahirkan sistem kapitalisme yang berdasarkan pada kebebasan untuk berusaha dan bersaing satu sama lain.
Personalisme, Paham atau aliran ini menegaskan bahwa manusia mampu untuk merenungkan kebenaran abadi, atau secara umum untuk mencapai hubungan dengan kenyataan transenden. Aliran ini menempatkan arti pentingnya kebebasan pribadi serta keterikatan pribadi ini dengan masyarakat. Pribadi manusia tidak boleh karam dalam masyarakat seperti materialisme dialektik. Sebaliknya masyarakat harus diatur sedemikian rupa, sehingga pribadi manusia dapat terwujud secara bebas. Hal tersebut tidak berarti bahwa pribadi manusia terlepas dari masyarakat, melainkan ia hanya tidak ada di dalam, untuk dan melalui masyarakat. Hanya masyarakat dan pribadi mengakui Tuhan pribadi, amanlah nilai pribadi (Abbagnano, 1967: 72).
Pandangan individualisme, liberalisme dan personalisme tersebut di atas, dalam pendapatnya secara prinsipial sama, yakni bertitik tolak dari pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah pribadi (persona) yang bernilai pada dirinya sendiri. Masyarakat tidak merupakan tujuan pada dirinya sendiri melainkan harus melayani manusia konkrit dalam usaha untuk mengembangkan diri. Pandangan individualisme, liberalisme dan personalisme tidak (kurang) melihat bahwa manusia secara hakiki bersifat sosial (manusia itu makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial). Hal ini merupakan kelemahan atau kekurangan yang terdapat dalam aliran-aliran tersebut. Selanjutnya, sebagai solusi peringatan terhadap kelompok aliran-aliran tersebut diingatkan bahwa masyarakat bukan suatu tambahan terhadap pendirian individu yang sudah ada. Dalam individualitasnya manusia hidup dari dan dalam masyarakat. Maka manusia hanya dapat mencapai tujuannya apabila ia tidak hanya mengitari diri dan kepentingannya sendiri, melainkan membuka diri pada masyarakat dan mau melayani sesama. Manusia wajib untuk memperhatikan pada kepentingan bersama terhadap kepentingan yang semata-mata individual. Negara tidak hanya wajib untuk melindungi kebebasan masing-masing anggotanya melainkan juga untuk mewujudkan tanggung jawab semua anggota masyarakat satu sama lain. Untuk itu negara harus membatasi kebebasan masing-masing anggota.

A.2.3 Kolektivisme, Sosialisme, Totalitarisme
Kolektivisme. Paham atau aliran ini mengajarkan bahwa masyarakat merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Individu tidak bernilai pada dirinya sendiri, melainkan hanya sejauh memajukan keseluruhan. Aliran ini membenarkan bahwa individu dikorbankan demi tujuan-tujuan politik atau kepentingan ekonomi seluruh masyarakat atau negara.
Sosialisme. Paham atau aliran ini muncul merupakan reaksi terhadap liberalisme, revolusi industri dan akibat-akibatnya. Pada awalnya sosialisme muncul (paruh pertama abad ke-19) dikenal sebagai sosialis utopia. Dan lebih didasarkan pada pandangan kemanusiaan (humanitarian), dan meyakinikesempurnaan watak manusia. Sosialisme awal ini bertujuan meningkatkan, memperbaiki kesejahteraan rakyat, atau memperbaiki nasib rakyat sebagai anggota masyarakat (berharap dapat menciptakan masyarakat sosialis yang dicita-citakan) dengan kejernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan revolusi. Pada perkembangan selanjutnya, aliran ini berkeyakinan kemajuan manusia dan keadilan terhalang dengan lembaga hak milik atas sarana produksi. Pemecahannya menurut aliran ini: dengan membatasi atau menghapuskan hak milik pribadi (private property) dan menggantinya dengan pemilikan bersama atas sarana produksi.
Totalitarisme merupakan perwujudan kolektivisme dalam bidang social ekonomi- politik. Totalitarisme merupakan sistem yang menganggap negara atau penguasa berwenang untuk menata dan menentukan semua segi kehidupan masyarakat. Misalnya: kehidupan politik ditentukan oleh elite politik, bidang ekonomi seluruhnya dikuasai negara (etatisme), begitu pula pendidikan, kehidupan kekeluargaan, kehidupan keagamaan/kepercayaan dipegang dan ditentukan langsung oleh negara.
Pandangan kolektivisme, sosialisme dan totalitarisme tersebut di atas, secara prinsipial bertitik tolak dari pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Kebersamaan (masyarakat) merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Individu tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri, melainkan sejauh memajukan keseluruhan. Hal ini merupakan titik kelemahan atau kekurangan yang terdapat pada pandangan kolektivisme, sosialisme dan totalitarisme.
Sebagai solusi peringatan terhadap pandangan kelompok aliran tersebut harus dilawan dan dikatakan bahwa manusia merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Masyarakat dan negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan bertugas untuk memungkinkan perkembangan dan kesejahteraan masing-masing anggotanya. Oleh karena itu masyarakat harus melayani manusia yang konkrit. Sebab setiap insan manusia bernilai pada dirinya sendiri maka tak seorang pun boleh dikorbankan begitu saja demi kepentingan orang banyak.
Berdasarkan uraian pandangan-pandangan di atas memperlihatkan bahwa usaha-usaha untuk menempatkan hubungan antarmanusia dalam suatu system yang tertentu selalu mengalami kegagalan. Oleh karena itu perlu pandangan yang lebih utuh. Usaha-usaha untuk menguraikan hubungan antarpribadi haruslah melihatnya dari pelbagai pendapat atau anggapan lalu mencoba mendamaikan pelbagai ciri yang sungguh ada.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antarmanusia merupakan sesuatu yang konstitutif dalam eksistensi manusia. Bereksistensi adalah bereksistensi dengan yang lain. Bereksistensi dengan yang lain ini kiranya menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam daripada berada bersama secara kelihatan saja. Eksistensi itu juga mencapai Perwujudannya yang paling tinggi dalam cinta kasih. Karena itu hubungan antarmanusia juga mencapai kesempurnaannya dalam hubungan yang ditandai oleh cinta kasih. Namun dalam hubungan antarmanusia yang sempurna seperti itu jarang ditemukan dalam kenyataan. Tidak jarang hubungan antarmanusia hanya merupakan suatu fungsi yang tertentu, suatu yang fungsional saja. Hubungan antarmanusia diperlukan suatu kesadaran akan keduaan serta hubungan antarmanusia yang lebih menyeluruh yang mendasarinya.
Dalam usaha mempertahankan hubungan antarmanusia itu, ditekankan kemandiriran dari yang lain sebagai subjek. Yang lain adalah pribadi yang tak terjabarkan, yang harus diterima dalam keberlainannya. Di samping itu juga menampakkan bahwa yang melibatkan diri dalam hubungan antarmanusia itu perlu diuraikan lebih lanjut sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Dengan ini
dapat diharapkan terciptanya suatu pandangan yang lebih utuh, yang memang sangat dibutuhkan.
Tidak cukup manusia hanya sampai kepada kenyataan bahwa diri pribadinya merupakan subjek yang otonom. Ia harus menyadari diri akan adanya sesuatu yang “bukan aku”, yang ternyata martabat dan derajatnya sama dengan “aku”. Dalam hubungan antar “aku” dengan “aku yang lain” atau antar “aku” dengan “kau”. Manusia satu sama lain saling bertemu dalam taraf yang sama,
dalam taraf sebagai saudara. Sebagaimana telah disampaikan di depan bahwa sosialitas merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Kehidupan manusia dalam kebersamaan bersifat kodrati, maksudnya manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang saling membutuhkan, dan harus saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah kehidupan masing-masing, dan bersifat terbuka. Manusia harus menjalin hubungan antara yang satu dengan lainnya, yang hanya akan terwujud bila saling mengerti dan saling menghormati, saling menangkap sebagai subjek yang sama martabatnya (Nawawi, 1995: 148-149). Dengan kata lain, manusia hanya akan berhasil mewujudkan kehidupan bersama secara harmonis, dalam suasana saling mengasihi dan saling menyayangi. Pertemuaan kehidupan bersama yang harmonis itu hanya akan berhasil/terjadi dalam ruang dan waktu tertentu yang disebut masyarakat sebagai satu kesatuan sosial. Kesatuan organisasi dari masyarakat yang terbesar adalah negara; sedangkan sebagai satuan yang terkecil adalah keluarga.
Manusia dan masyarakatnya bukan merupakan dua realitas yang asing satu sama lain, yang saling mempengaruhi dari luar, melainkan membentuk horizon dinamis dalam hubungan yang dialektis. Keduanya merupakan lapangan kerjasama dengan dorongan dialektis, saling memajukan dan saling memperkembangkan . Untuk itu kemajuan manusia merupakan hasil kerjasama antar manusia bukan hasil seseorang. Sebagai konsekuensinya, manusia dan masyarakatnya merupakan dua momen itu saling melengkapi atau komplementer. Manusia itu pada dasarnya tidak hanya “ko-eksistens”, melainkan juga “kooperans”. Konkritnya, dalam kehidupan bersama (masyarakat) harus terdapat keteraturan antara anggota masyarakat. Keteraturan itu diatur dengan prinsip “solidaritas” dan “subsidiaritas”.
Solidaritas adalah prinsip yang menggambarkan sikap adanya kepedulian setiap pribadi individu (keluarga wajib) untuk memberikan sumbangan kepada kelompok (masyarakat). Sumbangan itu berujud tanggung jawab bagi kesejahteraan bersama (umum), seperti rasa memiliki kelompok, rasa wajib berpartisipasi di dalamnya, kesediaan membela kehormatan masyarakat. Dengan kata lain, manusia hanya menjadi diri sejauh ia dalam korelasi dengan yang-lain, terutama dengan manusia lain. Dalam korelasi itu, setiap pribadi individu harus mempromosikan kemanusiaan orang lain, untuk menjadi manusia seoptimal mungkin. Setiap manusia menjadi bertanggung jawab bagi sesama. Solidaritas dirumuskan sebagai keadilan sosial.
Subsidiaritas adalah prinsip yang menggambarkan sikap adanya rasa wajib bagi kelompok (masyarakat) untuk mengakui dan memberikan tempat dan fungsi kepada masing-masing anggota (pribadi-individu), dan atau keluarga. Fungsi itu wajar dan sebaik mungkin (moral), masing-masing anggota menurut kemampuan dan kesanggupannya, yang dapat dilaksanakannya dengan tanggung jawab dan inisiatif (Suseno, 1988: 307-308; Bakker, 1993: 8). Jadi otonomi dari masing-masing pribadi individu (keluarga) yang merupakan bagian dari masyarakat tidak akan hilang. Subsidiaritas dirumuskan sebagai keadilan distributif.
Pelaksanaan prinsip solidaritas dan subsidiaritas itu akan menjadikan seluruh warga dalam masyarakat mencapai kesejahteraan umum, kesejahteraan seluruh warga hidup bersama. Pelaksanaan prinsip-prinsip itu, berarti pengembangan persona-individu (keluarga) dan kelompok (masyarakat). Kesejahteraan umum itu merupakan aspek formal dari setiap kehidupan sosial. Kesejahteraan umum merupakan aspirasi dan inspirasi persona-individu dan kelompok yang selalu diusahakan dalam masyarakat. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut atau untuk mewujudkan tata nilai yang dapat menimbulkan kesejahteraan hidup bersama itu perlu ada suatu kaidah, aturan atau norma hidup masyarakat. Hal itu dimaksudkan supaya kepentingan satu pihak tidak saling berbenturan dengan pihak lain. Sehingga terjadinya keserasian antara kepentingan individu yang satu dengan individu lainnya.
Yang dimaksud norma hidup masyarakat adalah segala tata nilai, ukuran baik-buruk yang dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia di dalam kehidupan bersama. Tata nilai, ukuran baik-buruk itu untuk mengatur bagaimana seharusnya seseorang melakukan perbuatan, dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya (Sunoto, 1983: 40-41) sehingga kesejahteraan umum (bersama) tercapai. Paling tidak terdapat dua macam aturan atau norma hidup masyarakat dalam rangka mengatur kesejahteraan umum , yakni norma hukum (yuridis) dan norma moral (etis).












BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas dapatlah ditunjuk hakikat dan dasar yang terdalam dari sosialitas.
Pertama, apakah sosialitas itu? Sosialitas dapat dibedakan menjadi dua, yakni sosialitas transendental dan sosialitas fenomenal. Sosialitas transcendental adalah “di atas” segala fenomen, akan tetapi terlaksana dalam tiap-tiap realisasi dialektis. Sosialitas fenomenal adalah bentuk-bentuk konkrit, dengan mana kita menjalankan sosialitas transendental. Sosialitas transendental jangan dipandang seolah-olah di samping sosialitas fenomenal. Istilah transendental tidak berarti, bahwa sosialitas transendental itu ada tersendiri, terpisah. Seperti persona tidak ada di samping badan, akan tetapi mem-badan, demikianlah juga sosialitas transendental itu tidak ada di luar atau di samping fenomen atau konkritisasinya. Akan tetapi tidak pernahlah akan habis dengan seribu satu realisasi, seperti persona juga tidak terbatas dalam caranya menampakkan diri. Hal ini dapat disamakan dengan cinta-kasih manusia. Yang juga “immanent” (artinya terlaksana) dalam tiap-tiap ekspresinya, akan tetapi juga “transendent”, artinya tidak mungkin dihabiskan dengan ekspresi mana atau berapapun juga. Dengan kata lain dapat dikatakan sosialitas transendental adalah persona atau pribadi sendiri dipandang menurut hubungannya dengan sesama pribadi. Sosialitas transendental adalah persona-sebagai-peng-ada-bersama, atau sepanjang bersatu dengan lain-lain pribadi. Sedangkan sosialitas fenomenal adalah pengejawantahan dari sosialitas transendental. Sosialitas fenomenal atau sosialitas-sebagai-fenomen itu adalah dialektik dari sosialitas transendental.
Kedua, kesosialan yang secara kodrati melekat pada setiap manusia menggambarkan bahwa pada saat yang sama manusia adalah makhluk yang berada dalam jaringan hubungan dengan manusia lain. Tetapi dalam pelaksanaan yang konkrit setiap manusia (orang) memiliki keunikan sendiri sebagai individu: ia memiliki kemampuan, potensialitas dan keterbatasan. Semuanya ini menjadikannya khas. Ia mempunyai “nama” sendiri-sendiri. Kesosialan manusia mewujudkan diri dalam kebudayaan: bahasa sebagai alat komunikasi dan ekspresi; pranata-pranata sosial; organisasi sosial (masyarakat, negara dan berbagai bentuk kerjasama). Manusia mampu mengetahui dirinya lewat manusia lain; dan hanya dapat mewujudkan dirinya dengan bekerjasama dengan manusia lain.
Ketiga, sejalan dengan paparan kedua dan tujuan hidup manusia dalam masyarakat-negara dapatlah kami simpulkan, bahwa prinsip dasar yang ideal dalam sosialitas (hubungan antarmanusia) adalah cinta-kasih, solidaritas dan subsidiaritas.






















DAFTAR PUSTAKA

Siswanto, Dwi. 2001, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, Philo- sophy Press, Yogyakarta.





 

Blogger news

Blogroll

About