TUGAS
TERSTRUKTUR
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN
Disusun Oleh :
ILHAM ( F1A011048 )
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PURWOKERTO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Lukisan deskriptif
melukiskan korupsi itu apa adanya. Kita menggumpulkan fakta, data, ataupun
membuat statistik tentang korupsi atau kita mengadakan penelitian tentang
korupsi itu. Mengadakan penelitian tentang korupsi di Indonesia tentulah sangat
sulit, lagi pula menelan biaya yang tidak terkira.
Korupsi dalam statistik
kriminal atau perkara dapat dilihat di Kejaksaan Agung, di Markas Besar keKpolisian
RI, dan biro pusat statistik, tetapi terbatas mengenai perkara korupsi yang
diputus oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung. Statistik
di kepolisian hanya sampai pada perkara-perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan
Negeri karena Kejaksaan Negeri tidak teratur memberi data kepada kepolisian
tentang penyelesaian suatu perkara sampai pada putusan pengadilan.
Korupsi merupakan tantangan serius dalam pembangunan,
merongrong demokrasi dan tata pemerintahan, mengurangi akuntabilitas dan
representasi dalam kebijakan, menghambat penegakan hukum,
menghasilkan ketidakadilan dalam penyediaan layanan, dan mengikis kapasitas
kelembagaan pemerintah karena pengabaian prosedur. Sektor publik
menekankan bahwa pemerintahan yang baik memerlukan standar tertinggi
dalam integritas publik, keterbukaan, dan transparansi, serta sistem keadilan hukum.
Namun hal itu tidak
terlaksana secara menyeluruh. Ada Kejaksaan Negeri yang mengirim pemberitahuan
tentang kelanjutan penyelesaian suatu perkara, ada pola yang tidak
melakukannya.
Peraturan
perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi
Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Secara
parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan
memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira
pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam
menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.Gaung pemberantasan korupsi seakan
menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara,
bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun
tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia.
Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang
seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan
terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi
Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu
menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum.
Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak
kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif
politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM
ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi
Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan
mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
Korupsi
merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju adil dan makmur. Untuk tercapainya
tahap lepas landas ekonomi lebih cepat dari pertumbuhan penduduk, sehingga
korupsi memang dianggap masyarakat sebagai momok yang paling berbahaya di
Indonesia.
B.
RUMUSAN PERMASALAHAN
Apa sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. ASAL
KATA PENGERTIAN HARFIAH DARI KORUPSI
Kata
korupsi berasal dari bahasa latin corruptio
(Fockema Andreae: 1951) atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960).
Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu
berasal pula dari kata asal corrumpere,
suatu kata Latin yang lebih tua.
Dari bahasa latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa seperti Inggris: Corruption,
corrupt; Prancis: corruption; dan
Belanda corruptie. Dapat kita
memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Indonesia:
’’korupsi’’.
Arti
harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, pemyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary.
Meskipun
kata corruptio itu luas sekali
artinya, namun sering corruptio
dipersamakan artinya dengan pernyuapan seperti disebut di dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins (1977).
Kemudian
kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia
itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia: ’’Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sgok dan sebagainya’’ (Poerwadarminta, 1976).
Di
Malaysia terdapat peraturan anti korupsi. Di situ tidak dipakai kata korupsi
melainkan kata peraturan ’’anti-kerakusan’’. Sering pula di sana dipakai
istilah resuah yang tentulah berasal
dari bahasa Arab (riswah), yang
menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Abd. Bin Nuh et.al.: tanpa tahun).
Dengan
pengertian secara harfiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa
sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya.
Seperti
disimpulkan dalam Enclyclopedia Americana,
korupsi adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi
menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan
demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam
ragam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita meendekati masalah itu.
Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein
Al-atas dalam bukunya The Sociologi of Corruption, akan lain
artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik
ataupun ekonomi.
Begitu
pula Mubyarto (yang rupanya menyorot korupsi/penyuapan dari segi politik dan
ekonomi seemata), mengutip pendapat Smith (Teodore M. Smith, ”Corruption Tradition and Change”,
Indonesia, Cornell University, No. 11 April 1971) sebagai berikut:
”On the
whole corruption in Indonesia
appears to present more of a recurring political problem than an economic one.
It undermines the legitimacy of the government in the eyes of the young,
educated elite and most civil servants….. Corruption reduces support for the
government among elites at th province and regency level” ( Secar
keseluruhan korupsi di Indonesia
muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh
keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan
pegawai pada umumnya…. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari
kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten) (Mubyarto. 1980:60).
Lebih tegas lagi apa yang dikatakan
oleh Gunnur Myrdal (1977:166) sebagai berikut:
“The problem is of vital concern to the government of South Asia,
because the habitual practice of bribery and dishonesty paves the way for an
authoritarian regime which justifies it self by the disclosures of corruption
and the punitive action it takes against the offenders. Elimination of
corruption has regularly been advance as main justification for military take
overs”. (
Masalah itu (korupsi; penulis) merupakan suatu yang penting di Asia Selatan,
karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan kepada
penguasa otoriter, yang membenarkan dirinya dengan jalan membongkar korupsi dan
tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi
biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer).
Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington:
”akan tetapi
tidak berani bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini mengganggu
stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui
partai polotik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik
dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampongkan, tidak diberi untuk
menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika
kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik
pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jendral, maka sistem tersebut
akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi
politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas”
(Huntington 1977, dalam Moctar lubis dan james C. Scott, Bunga Rampai karangan-karangan mengenai Etika Pegawai Negeri:133).
Tentang
titik tolak analisa ekonomi (pasar) mengenai korupsi, Mubyarto (ibid: 65),
mengutip definisi Clive Gray (”Civil service Compansation in Indonesia”; BIES,
Vol. XV, No. 1, March 1979), dan memberi komentar:
”Dengan definisi korupsi demikian, maka
sogokan, uang siluman atau pungli tidak
lain merupakan ”harga pasar” yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali
”membeli” barang tertentu. Dan
barang barang tertentu itu yang akan dibeli berupa keputusan, izin, atau secara
lebih tegas : tanda tangan. Secara teoritis harga pasar tanda tangan akan naik
turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran, dan setiap kali
akan terjadi ”harga keseimbangan”. Karena dalam model ekonomi pasar, juga ada
pengertian ”harga diskriminaasi” maka dalam pasaran tanda tangan pejabat juga
ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan ”ekonomi kuat” dan golongan
”ekonomi lemah”.
- SEBAB ORANG MELAKUKAN PERBUATAN KORUPSI di INDONESIA
Ada beberapa sebab terjadinya perbuatan korupsi di
Indonesia antara lain:
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Mengenai masalah kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri
di Indonesia telah dikupas oleh B.Soedarso yang menyatakan antara lain:
“pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya dengan sebab yang paling
gampang dihubungkan, misalnya kurang gaji pejabat-pejabat, buruknya ekonomi,
mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajement yang kacau yang
menghasilkan adanya prosedur yang berliku-liku dan sebagainya”.
Kemudian
B. Soedarso rupanya sadar bahwa semua sebab yang disebutnya itu tidaklah
mutlak, maka ia merumuskan uraiannya di alinea lain sebagai berikut:
“banyak faktor yang saling bekerja dan saling mempengaruhi satu sama lain
sampai menghasilkan keadaan yang kita hadapi. Yang dapat
dilakukan hanyalah mengemukakan faktor yang saling berperan. Causaliteits
redereningen harus sangat berhati-hati dan dijauhkan dari gegabah. Buruknya
ekonomi belum tentu dengan sendirinya menghasilkan suatu wabah korupsi di
kalangan pejabat kalau tidak ada faktor-faktor lain yang bekerja. Kurangnya
gaji bukanlah faktor-faktor yang menenntukan orang berkecukupan banyak yang
menentukan korupsi. Prosedur yang berliku-liku bukanlah pula hal yang perlu di
tonjolkan karna korupsi ini meluas di bagian-bagian yang sederhana,
dikelurahan, dikantor penguasa-penguasa kecil, di kereta api, di
stasiun-stasiun, di loket penjualan karcis, kebun binatang dan sebagainya”. (B.
Soedarso 1969:10,11).
Namun
demikian kurangnya gaji pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam
arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia. Hal ini
dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker dalam tulisannya berjudul ”Indonesia
1979: The record of three decades” (Asia Survey Vol. XX No.2, 1980:123).
Begitu pula yang ditunjuk oleh Schoorl
dengan mengatakan:
“Di
Indonesia dibagian pertama tahun enam puluhan situasinya begitu merosot,
sehingga untuk golongan-golongan besar dari pegawai sebulan hanya sekedar cukup
untuk makan dua minggu. Dapat dipahami, bahwasituaasi demikian itu para pegawai
terpaksa mencari penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka
mendapatkannya dengan uang ekstra” (Schoorl, 1980: 180).
Apa yang ditulis Schoorl ini didengarnya sendiri ketika berkunjung ke Indonesia
pada permulaan tahun 1966.
2.
Latar Belakang Kebudayaan Indonesia
Ada
juga penulis yang menunjuk latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia
yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Soedarso yang menunjuk beberapa penyebab dari korupsi selanjutnya
menguraikan panjang lebar tentang latar belakang kultur ini. Antara lain
dikatakan:
“Dalam
hubungan meluasnya korupsi di Indonesia
maka apabila miliu itu ditindak lanjut, maka yang perlu diselidiki tentunya
bukan kekhususan miliu orang satu per satu, melainkan yang secara umum
meliputi, dirasakan dan mempengaruhi
kita semua orang Indonesia.
Dengan demikian,mungkin kita bisa menemukan sebab-sebab masyarakat kita dapat
menelorkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa korupsi itu
secara diam-dian ditoleler, bukan oleh penguasa ,tetapi oleh masyarakat sendiri
. kalau masyarakat umum mempunyai semangat anti korupsi seperti para mahasiswa
pada waktu melakukan demonstrasi anti korupsi,maka korupsi sungguh-sungguh
tidak akan dikenal.” (B. S oedarso 1969:14).
Pendapat
ini mirip pendapat syed Hussein al-atas yang mengatakan bahwa mayoritas
masyarakat yang tidak melakukan perbuatan korupsiseharusnya berpartisipasi
dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh minoritas. Cara ini disebut
siskampling (sistem keamanan lingkungan).
Lebih lanjut B. Soedarso meneruskan pula
secara panjang lebar tentang sejarah kultur Indonesia mulai zaman multatuli,
waktu penyalahgunaan jabatan merupakan suatu sistem. Ditulisnya:
“Selama dalam jabatan ( maksudnya :melaporkan
kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh Bupati lebak dan wedana
parangkuan (Banten selatan) kepada
atasannya dan meminta supaya terhadap mereka ini dilakukan pengusutan. Menurut
Douwes Dokker, Bupati tersebut telah menggunakan kekuasaan melebihi daripada
yang telah ditentukan oleh peraturan, untuk memperkaya diri. Dalam keadaan
social seperti yang telah dibentangkan dimuka, dalam suasana ketololan pikiran
tentang hubungan penguasa dengan rakyat, maka kejahatan yang timbul diantara
penguasa dengan sendirinya adalah penyalahgunaan untuk memperkaya diri dengan memfaatkan
kebodohan serta onderdanigheid penduduk. Tentu saja disini perlu sekali lagi di
ingat bahwa yang dimaksud dengan penyalahgunaan adalah menurut ukuran modern,
ukuran kultur yang telah menelorkan KUHP, sebab dalam rangka pandangan kuno
tidak ada pengertian penyalahgunaan kekuasaan.
Apa yang menurut ukuran baru adalah
penyalahgunaan kewibawaan, kekuasaan dan wewenaang, pada waktu itu terjadi
stelsel, korupsi menjadi sistem” (Ibid:25).
Mungkin pertanyaan diatas terlalu
berani, namun dari sejarah berlakunya KUHP di Indonesia penyalahgunaan
kekuasaan di Indonesia
oleh pejabat-pejabat memang telah diperhitungkan secara khusus oleh pemerintah.
Hal ini nyata disisipkannya pasal 432 KUHP (kejahatan-kejahatan knevelarij)
dalam KUHP karena dengan pasal yang ada dalam Ned. W.v.s . mengenai knevelarij yaitu pasal 366 (= pasal 425
KUHP),dipandang kurang memadai untuk masyarakat indonesia yang pejabat-pejabatnya
cenderung untuk melakukan penyalahgunaan
kekuasaan untuk menguntungkan diri sendir. Pasal 366 Ned. W.v.S. mengandung
salah satu unsur yaitu in de uitoefening
zijner bedizening (pada waktu melaksanakan jabatannya) yang menyatakan
bahwa pejabat atau pegawai negri melakukan kejahatan “pada waktu melaksanakan
jabatannya”. Padahal bagi banyak pejabat atau pegawai negeri Indonesia sulit ditentukan kapan ia
melaksanakan jabatannya. Lain dari pejabat atau pegawai negeri di belanda, ia
bisa melaksanakan jabatannya dimana dan kapan saja (Van’t Hof, tanpa tahun).
Memang benar pejabat atau pegawai
negeri Indonesia
dapat saja melaksanakan jabatannya dirumahnya sendiri dan memang rakyat akan
menikmatinya karena keterbelakangannya, hal mana tidak akan terjadi di
Belanda. Demikianlah maka dalam pasal 423 KUHP itu kata-kata in de uitoefening zijner bedizening tidak
terdapat. Kedua pasal 423 da 425vKUHP itu dikenal dengan nama knevelarij yang
menurut terjemahan KUHP buah tangan Moeljatno 1979 diterjemahkan dengan
”pemerasan”, oleh Engelbrecht dengan ”kerakusan” , Susilo dengan Sunarto dengan
”pemintaan pemaksa” sedangkan kitab undang-undang hukuman terbitan balai
pustaka tahun 1940 menerjemahkannya dengan ”perbuatan aniaya”. Mirip dengan
dengan ini Supatro menerjemahkannya ”aniaya dengan pendayaan serta dengan
menjepit”(Cassuto, 1931). Terjemahan-terjemahan ini akan diuraikan pada bagian
belakang tulisan ini, khususnya pada penggupasan pas 423 dan 425 KUHP itu.
3. Manajemen Yang Kurang Baik dan Kontrol Yang Kurang
Efektif dan Efisien
Manajemen
yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien sering dipandang
pula sebagai penyebab korupsi khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu
akan memberi peluang orang untuk korupsi. Sering dikatakan makin besar anggaran
pembangunan sering besar juga kemungkinan terjadinya kebocoran.
Kelihatannya
pemerintah, khususnya Menteri Penertiban Aperatur Negara dan Operasi tertib
telah memperhatikan hal ini, yang nyata pada peningkatan frekuensi pendidikan
dan latihan di kalangan pejabat yang bergerak di bidang pengawasan. Atas kerja
sama antara Menteri Aparatur negara dan Opstib, dan lembaga Administrasi Negara
telah selesai dididik semua unsur pemeriksa pada Inspektorat Jendral Departemen
dan Lembaga Negara, Pemerintah I dan II dalam tahun 1979-1980, sebanyak 25
angkatan secara keseluruhan.dalam kurikulumnya tercantum selain masalah
management dan control, juga terdapat mata pelajaran tindak pidana korupsi.
Begitu pula sekolah staf dan pimpinan administrasi (SESPA) sejak tahun 1980-1981 bertemakan :
”peningkatan built in control dalam rangka sistem pengawasan terpadu bagi kebutuhan
pembangunan nasional”. Sejak itu kurikulumnya antara lain ”Tindak Pidana
Korupsi”. Untuk itu para pengawas dan pemeriksa dibekali pengetahuan tentang
masalah korupsi khususnya dalam rangka hukum pidana.
Sehubungan
dengan maksud ini dikeluarkan pula keputusan Presiden No.18 tahun 1981. satu
dan lain ialah agar pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan APBN pada
khususnya berjalan lancar dan bebas dari hambatan ataupun kebocoran seperti
korupsi.
4. Modernisasi
Ada pula
penulis yang mengatakan penyebab korupsi ialah Modernisasi. Huntington menulis:
” korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi
korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu dengan yang lain, dan dalam
masyarakat yang sedang tumbuh korupsi
lebih umumdalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari
sana-sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi
sosial dan ekonomi yang cepat” (Huntington 1977, dalan Mochtar Lubis dan Scott:
121).
Mengapa modernisasi mengembangbiakkan
korupsi, jawabannya menurut Huntington sebagai berikut:
a.
Modernisasi
membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.
b.
Modernisasi
juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber
kekayaaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan
politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam
masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal itu belum dapat diterima oleh
golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat.
c.
Modernisasi
merangsang korupsi karena perebahan-perubahan yang diakibatkan dalam bidang
kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di negara-negara yang memulai
modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaaan pemerintah dan melipat
gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.
Mengenai
akibat korupsi ada dua pendapat. Ada yang mengatakan korupsi itu tidak selalu
berakibat negatif, kadaf-kadang berakibat positif, manakala korupsi itu
berfungsi sebagai uang pelicin seperti fungsi minyak pelumas pada mesin.
Pendapat pertama ini banyak dianut oleh peneliti barat. (Schoorl, 1980 : 184).
Pendapat yang
kedua mengatakan bahwa korupsii itu tidak pernah membawa akibat positif,
seperti Gunnar Myrdal yang mengatakan antara lain:
1)
Korupsi
memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnnya hasrat
untuk terjun di bidang usaha dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2)
Korupsi
mempertajam permasalahan masyarakaat plural sedang bersamaan dengan itu
kesatuan negara bertumbuh lemah. Juga karena turunnya martabat pemerintahan,
tendensi-tendensi itu membahayakan stabilitas politik.
3)
Korupsi
mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak hanya
memperlancar prosedur administrasi,
tetapi berakibat juga adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi
agar dengan demikian dapat menerima uang
suap. Disamping itu, pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang telah
diputuskan, dipersulit atau diperlambat karena alasan-alasan yang sama. Dalam
hal itu Myrdal bertentangan dengan pendapat yang lazim, bahwa korupsi itu harus
dianggap sebagai semir pelicin (Schoorl, 1980:184;Myrda., 1977:166, 167, 170).
Myrdal
menyebut negara-negara di Asia Selatan sebagai the soft state dimana merajalelanya korupsi merupakan salah satu
aspek dan pada umumnya mengakibatkan disiplin sosial yang rendah. Korupsi
merupakan hambatan besar bagi pembangunan (ibid:170,171).
Koentjarningrat
pun memandang korupsi sebagai salah satu kelemahan dalam pembangunan. Beliau
mengatakan:
”Jelaslah bahwa banyak yang masih harus kita rubah kalau
kita hendak mengatasi penyakit-penyakit
sosial budaya yang parah seperti krisis otoriter, kemacetan
administrasi, dan korupsi menyeluruh yang mengganas dalam masyarakat kita dan
jangan biarkan korupsi menguasai diri kita”.
ANALISA SAYA
Saya
dapat menerima pendapat Gunner Myrdal sepenuhnya bahwa jalan untuk memberantas
korupsi di negara Indonesia adalah:
1. Menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah;
2. Menaikkan moral pegawai tinggi;
3. Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau
legal;
4. Presiden harus memberi contoh yang baik.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
1.
KESIMPULAN
Merangkai
kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam
bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian
untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat
utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang
telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena
pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang
sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya
menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu
dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik
mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.
2.
SARAN
Tindakan
korupsi di Indonesia memang
sudah menjamur dari dahulu sampai sekarang dan untuk membrantas korupsi di Indonesia dibutuhkan tekad dan keberanian yang tinggi.
Maka kita sebagai mahasiswa sekaligus menjadi harapan bangsa janganlah
mempraktekan kegiatan korupsi dan ayo kita sama-sama memberantas korupsi dari
induknya sampai akar-akarnya.
PENUTUP
Semua segala yang diuraikan didalam
tulisan ini bermanfaat bagi kalangan teori dan praktek hukum, dan semoga
kalangan luas tergugah pula untuk memikirkan jalan terbaik untuk memberantas
korupsi di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia
Masalah dan Pemecahannya , Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.