Minggu, 16 September 2012

SOSIALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SOSIAL


MAKALAH
FILSAFAT ILMU SOSIAL
TENTANG  SOSIALITAS DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SOSIAL
Description: Description: C:\Documents and Settings\sentra computer\My Documents\Downloads\logo_UNSOED.jpg
Disusun Oleh:
ILHAM           (F1A011048)

 KEMENTRIAN  PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
                                               PURWOKERTO
2012

KATA PENGANTAR

            Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya diberi kemampuan untuk menyusun makalah yang berjudul “Filsafat Dengan Cabang – Cabang Ilmu Yang Lain”.
            Makalah ini disusun atas tugas dan kewajiban saya sebagai mahasiswa dalam mata kuliah Filsafat Ilmu Sosial.
            Tidak lupa saya ucapkan banyak terima kasih atas bimbingan, petunjuk, dan bantuanya kepada :
1.      Yang terhormat Bapak Prof.dr.Imam Santoso,M.Si , selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu Sosial.
2.      Semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, sehingga makalah ini bisa tersusun dengan baik.
Maka kepada beliau-beliau tersebut saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan bimbinganya.
Dalam menyusun makalah ini sudah sewajarnya terdapat kesalahan-kesalahan,  meskipun penulis sudah berusaha menyusun makalah ini secara ringkas dan jelas. Namun, penulis tidak lepas dari kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan  makalah ini,  penulis  mengharapkan kritik dari pembaca dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini bermanfaat baik secara teoritik maupun praktis.


                                                                                                                   


BAB 1

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Dalam perubahan dan kemajuan yang bersama-sama dialami oleh umat manusia banyak sekali persoalan-persoalan yang minta perhatian. Namun dalam tulisan ini hanya akan dikupas satu hal saja sebagai pembatasan diri. Kita dewasa ini mengalami kesadaran ideologis yang kuat. Dalam suasana umum itu terdapat satu hal yang urgen, yaitu tampilnya ke muka suatu “Grundform” dari kehidupan
manusia, yang disebut sosialitas (Drijarkara, 1962: 8). Sifat dan sikap dasar ini merupakan suatu unsur yang maha penting dalam cita-cita pembangunan kita, dalam perombakan dan perubahan kita.
       Dewasa ini banyak soal menyangkut kehidupan sosial yang perlu mendapatkan penjelasan. Kita berhadapan dengan suatu ironi: di satu pihak masyarakat kita boleh dikata mengalami kemajuan-kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memberikan kemudahan kemudahan bagi kehidupan modern; tetapi dari lain pihak kita masih menyaksikan adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin, peperangan antar suku atau pun antar negara, perbantahan sekitar demokrasi, hak asasi manusia, partisipasi politik, moral kehidupan dan lain sebagainya. Kemajuan-kemajuan ilmu ternyata tidak bisa menjelaskan persoalan-persoalan ini dan karenanya juga tidak mampu memberikan jalan keluar. Oleh karena itu perlu dan minta direnung-renungkan sampai keakarakarnya. Tematisasi ini dapat dilakukan oleh macam-macam ilmu pengetahuan sosial dengan cara masing-masing. Misalnya: psikologi, sosiologi, antropologi budaya, dan lain sebagainya (dapat dan harus menyumbangkan jasanya untuk memperdalam dan memperkuat pengertian kita). Namun dalam tulisan ini akan membahas “Sosialitas dalam Perspektif Filsafat Sosial”, sebab filsafat social boleh dikatakan sebagai usaha filusuf untuk memberi bimbingan dan jawaban supaya dapat mengatasi problema-problema sosial (Beck, 1967: 1-4). Filsafat sosial merupakan filsafat yang membicarakan kepentingan yang menyangkut masyarakat manusia yang (begitu luas) hubungan sosial manusia, atau kehidupan bersama dari manusia di dunia ini dalam seluruh dimensinya. Filsafat social mengupas persoalan manusia dalam hubungannya satu sama lain dalam kesatuan mereka, nilai-nilai dasar yang mengikat mereka sehingga menjadi kesatuan sesuatu masyarakat atau kesatuan sosial, bagaimana kesatuan sosial ini dipertahankan, sejauh mana keterbatasannya ataupun prospek kemampuannya dalam memperkembangkan diri.


















BAB II

 PEMBAHASAN

A.   Sosialitas Manusia

Tidak dapat disangkal bahwa menurut hakikatnya manusia adalah pribadi, makhluk individu. Tetapi juga tidak dapat disangkal bahwa ia berhubungan dengan makhluk-makhluk lainnya, termasuk manusia lainnya. Ia tidak tinggal dan hidup sendirian saja. Sebaliknya selalu berada bersama dan berhubungan dengan makhluk-makhluk serta orang-orang lainnya. Hal ini sejalan dengan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang multidimensional (monopluralis) dan memiliki taraf yang bertingkat atau berjenjang, yaitu fisis-kemis; biotis; psyke, human (Bakker, 1992: 114). Hubungan keempat taraf di dalam manusia ini dari satu pihak memiliki
‘kesesuaian relatif’ (berkegiatan sendiri, menurut hukum dan mekanisme sendiri); dari lain pihak mereka juga ‘berhubungan’ erat satu sama lain untuk mewujudkan satu manusia yang utuh. Mereka merupakan bagian tinggi dan rendah. ‘Yang rendah’ mendasari yang tinggi dan mengarahkannya. Namun juga memberikan ruang gerak dan kuasa penentuan bagi yang lebih tinggi. Sedangkan, ‘yang tinggi’ mewarnai dan menatar yang rendah, sehingga dalam manusia sendiri taraf rendah itu sudah lain daripada bahan pembangunan, atau daripada pohon dan hewan. Namun yang tinggi tidak dapat mengabaikan yang rendah begitu saja. Ia akan atau diperingati oleh taraf yang lebih rendah.
Keempat taraf itu semuanya mengambil bagian dalam kerohaniankejasmanian manusia. Semua taraf itu berupa dimensi-dimensi yang digayakan dan diorganisasi dari dalam; atau sebaliknya: berupa gaya/intensitas yang menghayati diri dalam wujud tertentu.
Manusia sebagai realitas di samping sebagai makhluk yang multidimensional dan memiliki taraf yang bertingkat juga berstruktur bipolaritas, artinya mempunyai dua aspek realitas yang tidak dapat diekstrimkan, yang tidak dilihat secara sektoral dalam salah satu aspek kehidupannya, tetapi secara integral dengan mengikutsertakan dan memperhatikan segala segi yang membentuk pribadi manusia dan yang mempengaruhinya, yaitu materialitas-spiritualitas; transendensi-imanensi; individualitas-sosialitas; eksteriorisasi-interiorisasi (Soerjanto, 1989:55-56).
Sosialitas manusia merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain. Sosialitas manusia itu suatu unsur yang tidak dapat tidak ada pada kodrat manusia. Adapun ciri-ciri dasar sosialitas manusia oleh itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, sosialitas manusia atau hubungan antarmanusia mempunyai dimensi yang sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak mungkin hidup sendirian, “no man is an island” kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut manusia sebagai “zoon politicon”, makhluk sosial, sedang para filsuf eksistensialis pun menegaskan kembali secara baru eksistensi manusia sebagai Mitsein (Heidegger) atau Coexistence (Gabriel Marcel). Inilah hakikat sejati dari sosialitas manusia.Manusia tidak dapat disebut sebagai manusia selain berkat kehidupan sosialnya,kebersamaannya dengan yang lain. Sosialitas merupakan ciri hakiki yang tak teringkari, bukan ciri yang ditambahkan pada manusia atau kondisi yang ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat pada dirinya sejak lahirnya .
Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat manusia mengarah pada kemanusian yang lebih luas, penuh dan lebih sempurna. Sosialitas manusia adalah sosialitas yang terbuka, yang prospektif, yang dapat berkembang ke arah yang baik, sejauh anggota-anggota masyarakat menyadari prospek dan bertanggungjawab atasnya. Meskipun demikian sebagaimana penjelasan di atas perlu diketahui bahwa hubungan sosial itu sangat kompleks dan ,meliputi taraf-taraf yang berbeda. Contoh: hubungan yang dialami anak-anak berlainan dengan orang dewasa, demikian juga pengalaman sosial orang-orang primitip berlainan dengan orang-orang modern. Yang menjadi pertanyaan di sini: Apakah ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara keduanya? Apakah masyarakat berkembang secara evolutip dari yang sederhana menuju yang kompleks? Sampai saat ini terdapat beberapa teori yang sulit didamaikan. Hal ini menjadi salah satu bahan pertimbangan filsafat sosial yang penting.
Ketiga, hubungan sosial yang terjadi ada 2 (dua) sebab, yaitu : (1) hubungan sosial terjadi karena ikatan yang akrab entah karena kesamaan klas, etnis, religi atau budaya lainnya. Hubungan sosial ini terjadi lebih karena naluri primordial, alami. Oleh karena itu hubungan sosial ini lebih bersifat emosional; ikatan yang terjadi bersifat “dari dalam” anggota-anggota kelompok sosial itu. (2) Hubungan sosial terjadi karena saling berkebutuhan satu terhadap yang lain. Hubungan sosial ini lebih bersifat rasional dan menghasilkan pembagian social dalam fungsi-fungsi yang teratur; ikatan yang terjadi bersifat “dari luar”. Dalam sosiologi kelompok sosial yang pertama disebut “Paguyuban” dan kelompok sosial yang kedua disebut “Patembayan”.
Keempat, kodrat sosial manusia sebagai kenyataan kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka “otonomi dan kebebasan” manusia, yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk hubungan sosial.

A.1 Kerangka  Sosialitas  Manusia
 Berdasarkan pengalaman konkrit yang dapat kita lihat dan alami sebagai manusia, perjumpaan manusia satu dengan manusia yang lain terjadi berkat adanya perantara atau medium. Terdapat 2 (dua) medium perjumpaan manusia:
(1) medium tubuh/dunia fisik; (2) Yang Transenden (Sudiarja, 1995: 5-6).
Medium pertama merupakan medium yang teraih langsung oleh manusia. Tubuh manusia merupakan medium awal, paling primitif. Tanpa tubuh, manusia tidak mungkin berjumpa dan berkomunikasi dengan yang lain. Namun tubuh itu dapat diperluas menjadi dunia, yakni kondisi-kondisi fisik di sekitar dan yang ada dalam jangkauan manusia. Dalam pengertian ini sosialitas manusia tidak terpisahkan dari kerangka dunia, atau alamnya dimana manusia hidup dan bergaul.
Sosialitas manusia dalam pengertian kerangka medium kedua dapat dijelaskan sebagai berikut. Keterbukaan sosialitas manusia sejalan dengan ciri-ciri sosialitas sebagaimana tersebut di atas sebenarnya juga mengundang persoalan mengenai kemungkinan adanya “sesuatu” di luar dunia ini, bukan hanya sebagai “yang lain” (dari dunia ini) melainkan sebagai sesuatu “Yang Lain sama sekali” yang tak teraih oleh persepsi inderawi atau kemampuan fisik manusia, yaitu “sesuatu” yang merangkum dunia ini, sebagai “Yang Lebih Besar” dari dunia; “Yang Transenden”. Kerangka ini menempatkan manusia dalam kekecilan dan keterbatasannya.

A.2 Prinsip-Prinsip Dasar Sosialitas Dalam Berbagai Aliran
Sosialitas sebagaimana diterangkan di atas menggambarkan bahwa secara hakiki manusia selalu hidup dalam kebersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Namun bagaimanakah sifat kebersamaan itu? Dalam sejarah pemikiran filsafat terdapat pelbagai jawaban yang diberikan oleh para pemikir (filsuf) dan jawaban itu tak jarang terjadi kontroversi antara yang satu dengan yang lain oleh karena titik tolak dan anggapan yang sangat berbeda. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya berbagai aliran. Aliran-aliran itu antara lain: Eksistensialisme, individualisme, liberalisme, personalisme, kolektivisme, sosialisme, totalitarisme, dan lain sebagainya.
A.2.1 Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah paham atau aliran yang menegaskan bahwa tidak ada alam, selain alam manusia, alam dari subjektivitas manusia. Aliran ini memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni kesadarannya yang langsung dan subjektif. Inti kehidupan manusia itu mencakup keadaan hati, kekhawatiran dan keputusannya. Untuk itu aliran ini menentang segala bentuk objektivitas dan impersonalitas dalam bidang yang mengenai manusia, yaitu sebagaimana yang diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri (Dwi Siswanto, 2001: 32). Aliran ini merumuskan hubungan manusia secara radikal. Di antara para filsuf eksistensialis pun dalam merumuskan juga tak jarang terjadi kontroversi. Filsuf eksistensialis yang secara menonjol berbicara masalah sosialitas (hubungan antar manusia), antara lain: Martin Buber, Gabriel Marcel, Emmanuel Levinas, Jean-Paul Sartre.

A.2.2 Individualisme, Liberalisme, Personalisme
            Individualisme. Menurut individualisme nilai tertinggi manusia adalah perkembangan dan kebahagiaan individu. Masyarakat (kebersamaan) sematamata merupakan sarana bagi individu untuk mencapai tujuannya. Masyarakat sekedar melayani individu, contoh pemikiran ini sebagaimana dikemukakan antara lain oleh Rene Descartes, Thomas Hobbes, J.J. Rousseau.
Liberalisme merupakan perwujudan individualisme dalam bidang social ekonomi-politik. Bagi liberalisme kebebasan individu adalah nilai tertinggi dalam kebersamaan. Liberalisme mengharapkan bahwa kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat akan semakin maju bila bakat-bakat dan tenaga individu semakin dibiarkan berkembang dengan bebas. Negara harus melindungi kebebasan individu-individu (dan kelompok-kelompok) dalam masyarakat. Untuk itu kekuasaan negara harus dibatasi dengan ketat. Dibidang ekonomi liberalism melahirkan sistem kapitalisme yang berdasarkan pada kebebasan untuk berusaha dan bersaing satu sama lain.
Personalisme, Paham atau aliran ini menegaskan bahwa manusia mampu untuk merenungkan kebenaran abadi, atau secara umum untuk mencapai hubungan dengan kenyataan transenden. Aliran ini menempatkan arti pentingnya kebebasan pribadi serta keterikatan pribadi ini dengan masyarakat. Pribadi manusia tidak boleh karam dalam masyarakat seperti materialisme dialektik. Sebaliknya masyarakat harus diatur sedemikian rupa, sehingga pribadi manusia dapat terwujud secara bebas. Hal tersebut tidak berarti bahwa pribadi manusia terlepas dari masyarakat, melainkan ia hanya tidak ada di dalam, untuk dan melalui masyarakat. Hanya masyarakat dan pribadi mengakui Tuhan pribadi, amanlah nilai pribadi (Abbagnano, 1967: 72).
Pandangan individualisme, liberalisme dan personalisme tersebut di atas, dalam pendapatnya secara prinsipial sama, yakni bertitik tolak dari pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah pribadi (persona) yang bernilai pada dirinya sendiri. Masyarakat tidak merupakan tujuan pada dirinya sendiri melainkan harus melayani manusia konkrit dalam usaha untuk mengembangkan diri. Pandangan individualisme, liberalisme dan personalisme tidak (kurang) melihat bahwa manusia secara hakiki bersifat sosial (manusia itu makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial). Hal ini merupakan kelemahan atau kekurangan yang terdapat dalam aliran-aliran tersebut. Selanjutnya, sebagai solusi peringatan terhadap kelompok aliran-aliran tersebut diingatkan bahwa masyarakat bukan suatu tambahan terhadap pendirian individu yang sudah ada. Dalam individualitasnya manusia hidup dari dan dalam masyarakat. Maka manusia hanya dapat mencapai tujuannya apabila ia tidak hanya mengitari diri dan kepentingannya sendiri, melainkan membuka diri pada masyarakat dan mau melayani sesama. Manusia wajib untuk memperhatikan pada kepentingan bersama terhadap kepentingan yang semata-mata individual. Negara tidak hanya wajib untuk melindungi kebebasan masing-masing anggotanya melainkan juga untuk mewujudkan tanggung jawab semua anggota masyarakat satu sama lain. Untuk itu negara harus membatasi kebebasan masing-masing anggota.

A.2.3 Kolektivisme, Sosialisme, Totalitarisme
Kolektivisme. Paham atau aliran ini mengajarkan bahwa masyarakat merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Individu tidak bernilai pada dirinya sendiri, melainkan hanya sejauh memajukan keseluruhan. Aliran ini membenarkan bahwa individu dikorbankan demi tujuan-tujuan politik atau kepentingan ekonomi seluruh masyarakat atau negara.
Sosialisme. Paham atau aliran ini muncul merupakan reaksi terhadap liberalisme, revolusi industri dan akibat-akibatnya. Pada awalnya sosialisme muncul (paruh pertama abad ke-19) dikenal sebagai sosialis utopia. Dan lebih didasarkan pada pandangan kemanusiaan (humanitarian), dan meyakinikesempurnaan watak manusia. Sosialisme awal ini bertujuan meningkatkan, memperbaiki kesejahteraan rakyat, atau memperbaiki nasib rakyat sebagai anggota masyarakat (berharap dapat menciptakan masyarakat sosialis yang dicita-citakan) dengan kejernihan dan kejelasan argumen, bukan dengan cara-cara kekerasan dan revolusi. Pada perkembangan selanjutnya, aliran ini berkeyakinan kemajuan manusia dan keadilan terhalang dengan lembaga hak milik atas sarana produksi. Pemecahannya menurut aliran ini: dengan membatasi atau menghapuskan hak milik pribadi (private property) dan menggantinya dengan pemilikan bersama atas sarana produksi.
Totalitarisme merupakan perwujudan kolektivisme dalam bidang social ekonomi- politik. Totalitarisme merupakan sistem yang menganggap negara atau penguasa berwenang untuk menata dan menentukan semua segi kehidupan masyarakat. Misalnya: kehidupan politik ditentukan oleh elite politik, bidang ekonomi seluruhnya dikuasai negara (etatisme), begitu pula pendidikan, kehidupan kekeluargaan, kehidupan keagamaan/kepercayaan dipegang dan ditentukan langsung oleh negara.
Pandangan kolektivisme, sosialisme dan totalitarisme tersebut di atas, secara prinsipial bertitik tolak dari pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial. Kebersamaan (masyarakat) merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Individu tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri, melainkan sejauh memajukan keseluruhan. Hal ini merupakan titik kelemahan atau kekurangan yang terdapat pada pandangan kolektivisme, sosialisme dan totalitarisme.
Sebagai solusi peringatan terhadap pandangan kelompok aliran tersebut harus dilawan dan dikatakan bahwa manusia merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Masyarakat dan negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan bertugas untuk memungkinkan perkembangan dan kesejahteraan masing-masing anggotanya. Oleh karena itu masyarakat harus melayani manusia yang konkrit. Sebab setiap insan manusia bernilai pada dirinya sendiri maka tak seorang pun boleh dikorbankan begitu saja demi kepentingan orang banyak.
Berdasarkan uraian pandangan-pandangan di atas memperlihatkan bahwa usaha-usaha untuk menempatkan hubungan antarmanusia dalam suatu system yang tertentu selalu mengalami kegagalan. Oleh karena itu perlu pandangan yang lebih utuh. Usaha-usaha untuk menguraikan hubungan antarpribadi haruslah melihatnya dari pelbagai pendapat atau anggapan lalu mencoba mendamaikan pelbagai ciri yang sungguh ada.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antarmanusia merupakan sesuatu yang konstitutif dalam eksistensi manusia. Bereksistensi adalah bereksistensi dengan yang lain. Bereksistensi dengan yang lain ini kiranya menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam daripada berada bersama secara kelihatan saja. Eksistensi itu juga mencapai Perwujudannya yang paling tinggi dalam cinta kasih. Karena itu hubungan antarmanusia juga mencapai kesempurnaannya dalam hubungan yang ditandai oleh cinta kasih. Namun dalam hubungan antarmanusia yang sempurna seperti itu jarang ditemukan dalam kenyataan. Tidak jarang hubungan antarmanusia hanya merupakan suatu fungsi yang tertentu, suatu yang fungsional saja. Hubungan antarmanusia diperlukan suatu kesadaran akan keduaan serta hubungan antarmanusia yang lebih menyeluruh yang mendasarinya.
Dalam usaha mempertahankan hubungan antarmanusia itu, ditekankan kemandiriran dari yang lain sebagai subjek. Yang lain adalah pribadi yang tak terjabarkan, yang harus diterima dalam keberlainannya. Di samping itu juga menampakkan bahwa yang melibatkan diri dalam hubungan antarmanusia itu perlu diuraikan lebih lanjut sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Dengan ini
dapat diharapkan terciptanya suatu pandangan yang lebih utuh, yang memang sangat dibutuhkan.
Tidak cukup manusia hanya sampai kepada kenyataan bahwa diri pribadinya merupakan subjek yang otonom. Ia harus menyadari diri akan adanya sesuatu yang “bukan aku”, yang ternyata martabat dan derajatnya sama dengan “aku”. Dalam hubungan antar “aku” dengan “aku yang lain” atau antar “aku” dengan “kau”. Manusia satu sama lain saling bertemu dalam taraf yang sama,
dalam taraf sebagai saudara. Sebagaimana telah disampaikan di depan bahwa sosialitas merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Kehidupan manusia dalam kebersamaan bersifat kodrati, maksudnya manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang saling membutuhkan, dan harus saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan masalah kehidupan masing-masing, dan bersifat terbuka. Manusia harus menjalin hubungan antara yang satu dengan lainnya, yang hanya akan terwujud bila saling mengerti dan saling menghormati, saling menangkap sebagai subjek yang sama martabatnya (Nawawi, 1995: 148-149). Dengan kata lain, manusia hanya akan berhasil mewujudkan kehidupan bersama secara harmonis, dalam suasana saling mengasihi dan saling menyayangi. Pertemuaan kehidupan bersama yang harmonis itu hanya akan berhasil/terjadi dalam ruang dan waktu tertentu yang disebut masyarakat sebagai satu kesatuan sosial. Kesatuan organisasi dari masyarakat yang terbesar adalah negara; sedangkan sebagai satuan yang terkecil adalah keluarga.
Manusia dan masyarakatnya bukan merupakan dua realitas yang asing satu sama lain, yang saling mempengaruhi dari luar, melainkan membentuk horizon dinamis dalam hubungan yang dialektis. Keduanya merupakan lapangan kerjasama dengan dorongan dialektis, saling memajukan dan saling memperkembangkan . Untuk itu kemajuan manusia merupakan hasil kerjasama antar manusia bukan hasil seseorang. Sebagai konsekuensinya, manusia dan masyarakatnya merupakan dua momen itu saling melengkapi atau komplementer. Manusia itu pada dasarnya tidak hanya “ko-eksistens”, melainkan juga “kooperans”. Konkritnya, dalam kehidupan bersama (masyarakat) harus terdapat keteraturan antara anggota masyarakat. Keteraturan itu diatur dengan prinsip “solidaritas” dan “subsidiaritas”.
Solidaritas adalah prinsip yang menggambarkan sikap adanya kepedulian setiap pribadi individu (keluarga wajib) untuk memberikan sumbangan kepada kelompok (masyarakat). Sumbangan itu berujud tanggung jawab bagi kesejahteraan bersama (umum), seperti rasa memiliki kelompok, rasa wajib berpartisipasi di dalamnya, kesediaan membela kehormatan masyarakat. Dengan kata lain, manusia hanya menjadi diri sejauh ia dalam korelasi dengan yang-lain, terutama dengan manusia lain. Dalam korelasi itu, setiap pribadi individu harus mempromosikan kemanusiaan orang lain, untuk menjadi manusia seoptimal mungkin. Setiap manusia menjadi bertanggung jawab bagi sesama. Solidaritas dirumuskan sebagai keadilan sosial.
Subsidiaritas adalah prinsip yang menggambarkan sikap adanya rasa wajib bagi kelompok (masyarakat) untuk mengakui dan memberikan tempat dan fungsi kepada masing-masing anggota (pribadi-individu), dan atau keluarga. Fungsi itu wajar dan sebaik mungkin (moral), masing-masing anggota menurut kemampuan dan kesanggupannya, yang dapat dilaksanakannya dengan tanggung jawab dan inisiatif (Suseno, 1988: 307-308; Bakker, 1993: 8). Jadi otonomi dari masing-masing pribadi individu (keluarga) yang merupakan bagian dari masyarakat tidak akan hilang. Subsidiaritas dirumuskan sebagai keadilan distributif.
Pelaksanaan prinsip solidaritas dan subsidiaritas itu akan menjadikan seluruh warga dalam masyarakat mencapai kesejahteraan umum, kesejahteraan seluruh warga hidup bersama. Pelaksanaan prinsip-prinsip itu, berarti pengembangan persona-individu (keluarga) dan kelompok (masyarakat). Kesejahteraan umum itu merupakan aspek formal dari setiap kehidupan sosial. Kesejahteraan umum merupakan aspirasi dan inspirasi persona-individu dan kelompok yang selalu diusahakan dalam masyarakat. Untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut atau untuk mewujudkan tata nilai yang dapat menimbulkan kesejahteraan hidup bersama itu perlu ada suatu kaidah, aturan atau norma hidup masyarakat. Hal itu dimaksudkan supaya kepentingan satu pihak tidak saling berbenturan dengan pihak lain. Sehingga terjadinya keserasian antara kepentingan individu yang satu dengan individu lainnya.
Yang dimaksud norma hidup masyarakat adalah segala tata nilai, ukuran baik-buruk yang dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong perbuatan manusia di dalam kehidupan bersama. Tata nilai, ukuran baik-buruk itu untuk mengatur bagaimana seharusnya seseorang melakukan perbuatan, dalam rangka mencukupi kebutuhan hidupnya (Sunoto, 1983: 40-41) sehingga kesejahteraan umum (bersama) tercapai. Paling tidak terdapat dua macam aturan atau norma hidup masyarakat dalam rangka mengatur kesejahteraan umum , yakni norma hukum (yuridis) dan norma moral (etis).












BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas dapatlah ditunjuk hakikat dan dasar yang terdalam dari sosialitas.
Pertama, apakah sosialitas itu? Sosialitas dapat dibedakan menjadi dua, yakni sosialitas transendental dan sosialitas fenomenal. Sosialitas transcendental adalah “di atas” segala fenomen, akan tetapi terlaksana dalam tiap-tiap realisasi dialektis. Sosialitas fenomenal adalah bentuk-bentuk konkrit, dengan mana kita menjalankan sosialitas transendental. Sosialitas transendental jangan dipandang seolah-olah di samping sosialitas fenomenal. Istilah transendental tidak berarti, bahwa sosialitas transendental itu ada tersendiri, terpisah. Seperti persona tidak ada di samping badan, akan tetapi mem-badan, demikianlah juga sosialitas transendental itu tidak ada di luar atau di samping fenomen atau konkritisasinya. Akan tetapi tidak pernahlah akan habis dengan seribu satu realisasi, seperti persona juga tidak terbatas dalam caranya menampakkan diri. Hal ini dapat disamakan dengan cinta-kasih manusia. Yang juga “immanent” (artinya terlaksana) dalam tiap-tiap ekspresinya, akan tetapi juga “transendent”, artinya tidak mungkin dihabiskan dengan ekspresi mana atau berapapun juga. Dengan kata lain dapat dikatakan sosialitas transendental adalah persona atau pribadi sendiri dipandang menurut hubungannya dengan sesama pribadi. Sosialitas transendental adalah persona-sebagai-peng-ada-bersama, atau sepanjang bersatu dengan lain-lain pribadi. Sedangkan sosialitas fenomenal adalah pengejawantahan dari sosialitas transendental. Sosialitas fenomenal atau sosialitas-sebagai-fenomen itu adalah dialektik dari sosialitas transendental.
Kedua, kesosialan yang secara kodrati melekat pada setiap manusia menggambarkan bahwa pada saat yang sama manusia adalah makhluk yang berada dalam jaringan hubungan dengan manusia lain. Tetapi dalam pelaksanaan yang konkrit setiap manusia (orang) memiliki keunikan sendiri sebagai individu: ia memiliki kemampuan, potensialitas dan keterbatasan. Semuanya ini menjadikannya khas. Ia mempunyai “nama” sendiri-sendiri. Kesosialan manusia mewujudkan diri dalam kebudayaan: bahasa sebagai alat komunikasi dan ekspresi; pranata-pranata sosial; organisasi sosial (masyarakat, negara dan berbagai bentuk kerjasama). Manusia mampu mengetahui dirinya lewat manusia lain; dan hanya dapat mewujudkan dirinya dengan bekerjasama dengan manusia lain.
Ketiga, sejalan dengan paparan kedua dan tujuan hidup manusia dalam masyarakat-negara dapatlah kami simpulkan, bahwa prinsip dasar yang ideal dalam sosialitas (hubungan antarmanusia) adalah cinta-kasih, solidaritas dan subsidiaritas.






















DAFTAR PUSTAKA

Siswanto, Dwi. 2001, Humanisme Eksistensial Jean-Paul Sartre, Philo- sophy Press, Yogyakarta.





0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About