MAKALAH
FILSAFAT
ILMU SOSIAL
TENTANG SOSIALITAS
DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT SOSIAL

Disusun Oleh:
ILHAM (F1A011048)
KEMENTRIAN
PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN POLITIK
PURWOKERTO
2012
KATA
PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga saya diberi kemampuan
untuk menyusun makalah yang berjudul “Filsafat Dengan Cabang – Cabang Ilmu Yang
Lain”.
Makalah ini disusun atas tugas dan
kewajiban saya sebagai mahasiswa dalam mata kuliah Filsafat Ilmu Sosial.
Tidak lupa saya ucapkan banyak
terima kasih atas bimbingan, petunjuk, dan bantuanya kepada :
1. Yang
terhormat Bapak Prof.dr.Imam Santoso,M.Si , selaku dosen mata kuliah Filsafat
Ilmu Sosial.
2. Semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, yang tidak dapat kami
sebutkan satu persatu, sehingga makalah ini bisa tersusun dengan baik.
Maka kepada beliau-beliau tersebut saya
ucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan bimbinganya.
Dalam menyusun makalah ini sudah
sewajarnya terdapat kesalahan-kesalahan,
meskipun penulis sudah berusaha menyusun makalah ini secara ringkas dan
jelas. Namun, penulis tidak lepas dari kekurangan dan masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, untuk menyempurnakan makalah ini, penulis
mengharapkan kritik dari pembaca dan saran yang bersifat membangun. Semoga
makalah ini bermanfaat baik secara teoritik maupun praktis.
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam perubahan dan kemajuan yang bersama-sama
dialami oleh umat manusia banyak sekali persoalan-persoalan yang minta
perhatian. Namun dalam tulisan ini hanya akan dikupas satu hal saja sebagai
pembatasan diri. Kita dewasa ini mengalami kesadaran ideologis yang kuat. Dalam
suasana umum itu terdapat satu hal yang urgen, yaitu tampilnya ke muka suatu “Grundform”
dari kehidupan
manusia,
yang disebut sosialitas (Drijarkara, 1962: 8). Sifat dan sikap dasar ini merupakan
suatu unsur yang maha penting dalam cita-cita pembangunan kita, dalam
perombakan dan perubahan kita.
Dewasa ini banyak soal menyangkut
kehidupan sosial yang perlu mendapatkan penjelasan. Kita berhadapan dengan
suatu ironi: di satu pihak masyarakat kita boleh dikata mengalami
kemajuan-kemajuan yang sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
yang memberikan kemudahan kemudahan bagi kehidupan modern; tetapi dari lain
pihak kita masih menyaksikan adanya jurang antara yang kaya dan yang miskin,
peperangan antar suku atau pun antar negara, perbantahan sekitar demokrasi, hak
asasi manusia, partisipasi politik, moral kehidupan dan lain sebagainya.
Kemajuan-kemajuan ilmu ternyata tidak bisa menjelaskan persoalan-persoalan ini
dan karenanya juga tidak mampu memberikan jalan keluar. Oleh karena itu perlu
dan minta direnung-renungkan sampai keakarakarnya. Tematisasi ini dapat
dilakukan oleh macam-macam ilmu pengetahuan sosial dengan cara masing-masing.
Misalnya: psikologi, sosiologi, antropologi budaya, dan lain sebagainya (dapat
dan harus menyumbangkan jasanya untuk memperdalam dan memperkuat pengertian
kita). Namun dalam tulisan ini akan membahas “Sosialitas dalam Perspektif
Filsafat Sosial”, sebab filsafat social boleh dikatakan sebagai usaha filusuf
untuk memberi bimbingan dan jawaban supaya dapat mengatasi problema-problema
sosial (Beck, 1967: 1-4). Filsafat sosial merupakan filsafat yang membicarakan kepentingan
yang menyangkut masyarakat manusia yang (begitu luas) hubungan sosial manusia,
atau kehidupan bersama dari manusia di dunia ini dalam seluruh dimensinya.
Filsafat social mengupas persoalan manusia dalam hubungannya satu sama lain
dalam kesatuan mereka, nilai-nilai dasar yang mengikat mereka sehingga menjadi
kesatuan sesuatu masyarakat atau kesatuan sosial, bagaimana kesatuan sosial ini
dipertahankan, sejauh mana keterbatasannya ataupun prospek kemampuannya dalam
memperkembangkan diri.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sosialitas
Manusia
Tidak dapat disangkal bahwa menurut hakikatnya
manusia adalah pribadi, makhluk individu. Tetapi juga tidak dapat disangkal
bahwa ia berhubungan dengan makhluk-makhluk lainnya, termasuk manusia lainnya.
Ia tidak tinggal dan hidup sendirian saja. Sebaliknya selalu berada bersama dan
berhubungan dengan makhluk-makhluk serta orang-orang lainnya. Hal ini sejalan
dengan suatu pemikiran yang mengatakan bahwa hakikat manusia sebagai makhluk
yang multidimensional (monopluralis) dan memiliki taraf yang bertingkat atau
berjenjang, yaitu fisis-kemis; biotis; psyke, human (Bakker, 1992: 114).
Hubungan keempat taraf di dalam manusia ini dari satu pihak memiliki
‘kesesuaian
relatif’ (berkegiatan sendiri, menurut hukum dan mekanisme sendiri); dari lain
pihak mereka juga ‘berhubungan’ erat satu sama lain untuk mewujudkan satu
manusia yang utuh. Mereka merupakan bagian tinggi dan rendah. ‘Yang rendah’
mendasari yang tinggi dan mengarahkannya. Namun juga memberikan ruang gerak dan
kuasa penentuan bagi yang lebih tinggi. Sedangkan, ‘yang tinggi’ mewarnai dan
menatar yang rendah, sehingga dalam manusia sendiri taraf rendah itu sudah lain
daripada bahan pembangunan, atau daripada pohon dan hewan. Namun yang tinggi
tidak dapat mengabaikan yang rendah begitu saja. Ia akan atau diperingati oleh
taraf yang lebih rendah.
Keempat taraf itu
semuanya mengambil bagian dalam kerohaniankejasmanian manusia. Semua taraf itu
berupa dimensi-dimensi yang digayakan dan diorganisasi dari dalam; atau
sebaliknya: berupa gaya/intensitas yang menghayati diri dalam wujud tertentu.
Manusia sebagai
realitas di samping sebagai makhluk yang multidimensional dan memiliki taraf
yang bertingkat juga berstruktur bipolaritas, artinya mempunyai dua aspek
realitas yang tidak dapat diekstrimkan, yang tidak dilihat secara sektoral
dalam salah satu aspek kehidupannya, tetapi secara integral dengan
mengikutsertakan dan memperhatikan segala segi yang membentuk pribadi manusia
dan yang mempengaruhinya, yaitu materialitas-spiritualitas;
transendensi-imanensi; individualitas-sosialitas; eksteriorisasi-interiorisasi
(Soerjanto, 1989:55-56).
Sosialitas manusia
merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain.
Sosialitas manusia itu suatu unsur yang tidak dapat tidak ada pada kodrat
manusia. Adapun ciri-ciri dasar sosialitas manusia oleh itu dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Pertama, sosialitas manusia atau hubungan
antarmanusia mempunyai dimensi yang sangat luas. Memang dapat dikatakan bahwa
dalam pengalaman hidupnya, manusia menjadi manusia hanya kalau ia bergaul dan
bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak mungkin hidup sendirian, “no man is an island” kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut
manusia sebagai “zoon
politicon”, makhluk
sosial, sedang para filsuf eksistensialis pun menegaskan kembali secara baru
eksistensi manusia sebagai Mitsein
(Heidegger) atau Coexistence (Gabriel Marcel). Inilah hakikat sejati
dari sosialitas manusia.Manusia tidak dapat disebut sebagai manusia selain
berkat kehidupan sosialnya,kebersamaannya dengan yang lain. Sosialitas
merupakan ciri hakiki yang tak teringkari, bukan ciri yang ditambahkan pada
manusia atau kondisi yang ditentukan dari luar, melainkan sesuatu yang melekat
pada dirinya sejak lahirnya .
Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat
manusia mengarah pada kemanusian yang lebih luas, penuh dan lebih sempurna.
Sosialitas manusia adalah sosialitas yang terbuka, yang prospektif, yang dapat
berkembang ke arah yang baik, sejauh anggota-anggota masyarakat menyadari
prospek dan bertanggungjawab atasnya. Meskipun demikian sebagaimana penjelasan
di atas perlu diketahui bahwa hubungan sosial itu sangat kompleks dan ,meliputi
taraf-taraf yang berbeda. Contoh: hubungan yang dialami anak-anak berlainan
dengan orang dewasa, demikian juga pengalaman sosial orang-orang primitip
berlainan dengan orang-orang modern. Yang menjadi pertanyaan di sini: Apakah
ada hubungan kausal (sebab-akibat) antara keduanya? Apakah masyarakat
berkembang secara evolutip dari yang sederhana menuju yang kompleks? Sampai
saat ini terdapat beberapa teori yang sulit didamaikan. Hal ini menjadi salah
satu bahan pertimbangan filsafat sosial yang penting.
Ketiga, hubungan sosial yang terjadi ada 2 (dua)
sebab, yaitu : (1) hubungan sosial terjadi karena ikatan yang akrab entah
karena kesamaan klas, etnis, religi atau budaya lainnya. Hubungan sosial ini
terjadi lebih karena naluri primordial, alami. Oleh karena itu hubungan sosial
ini lebih bersifat emosional; ikatan yang terjadi bersifat “dari dalam”
anggota-anggota kelompok sosial itu. (2) Hubungan sosial terjadi karena saling
berkebutuhan satu terhadap yang lain. Hubungan sosial ini lebih bersifat
rasional dan menghasilkan pembagian social dalam fungsi-fungsi yang teratur;
ikatan yang terjadi bersifat “dari luar”. Dalam sosiologi kelompok sosial yang
pertama disebut “Paguyuban” dan kelompok sosial yang kedua disebut
“Patembayan”.
Keempat,
kodrat sosial manusia sebagai kenyataan
kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka “otonomi dan kebebasan”
manusia, yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk hubungan
sosial.
A.1 Kerangka
Sosialitas Manusia
Berdasarkan
pengalaman konkrit yang dapat kita lihat dan alami sebagai manusia, perjumpaan
manusia satu dengan manusia yang lain terjadi berkat adanya perantara atau
medium. Terdapat 2 (dua) medium perjumpaan manusia:
(1) medium tubuh/dunia fisik; (2) Yang
Transenden (Sudiarja, 1995: 5-6).
Medium pertama
merupakan medium yang teraih langsung oleh manusia. Tubuh manusia merupakan
medium awal, paling primitif. Tanpa tubuh, manusia tidak mungkin berjumpa dan
berkomunikasi dengan yang lain. Namun tubuh itu dapat diperluas menjadi dunia,
yakni kondisi-kondisi fisik di sekitar dan yang ada dalam jangkauan manusia.
Dalam pengertian ini sosialitas manusia tidak terpisahkan dari kerangka dunia,
atau alamnya dimana manusia hidup dan bergaul.
Sosialitas manusia
dalam pengertian kerangka medium kedua dapat dijelaskan sebagai berikut.
Keterbukaan sosialitas manusia sejalan dengan ciri-ciri sosialitas sebagaimana
tersebut di atas sebenarnya juga mengundang persoalan mengenai kemungkinan
adanya “sesuatu” di luar dunia ini, bukan hanya sebagai “yang lain” (dari dunia
ini) melainkan sebagai sesuatu “Yang Lain sama sekali” yang tak teraih oleh
persepsi inderawi atau kemampuan fisik manusia, yaitu “sesuatu” yang merangkum
dunia ini, sebagai “Yang Lebih Besar” dari dunia; “Yang Transenden”. Kerangka
ini menempatkan manusia dalam kekecilan dan keterbatasannya.
A.2
Prinsip-Prinsip Dasar Sosialitas Dalam Berbagai
Aliran
Sosialitas sebagaimana diterangkan di atas
menggambarkan bahwa secara hakiki manusia selalu hidup dalam kebersamaan dan
saling berhubungan satu sama lain. Namun bagaimanakah sifat kebersamaan itu?
Dalam sejarah pemikiran filsafat terdapat pelbagai jawaban yang diberikan oleh
para pemikir (filsuf) dan jawaban itu tak jarang terjadi kontroversi antara
yang satu dengan yang lain oleh karena titik tolak dan anggapan yang sangat
berbeda. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya berbagai aliran. Aliran-aliran
itu antara lain: Eksistensialisme, individualisme, liberalisme, personalisme,
kolektivisme, sosialisme, totalitarisme, dan lain sebagainya.
A.2.1 Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah
paham atau aliran yang menegaskan bahwa tidak ada alam, selain alam manusia,
alam dari subjektivitas manusia. Aliran ini memberi tekanan kepada inti
kehidupan manusia dan pengalamannya, yakni kesadarannya yang langsung dan
subjektif. Inti kehidupan manusia itu mencakup keadaan hati, kekhawatiran dan
keputusannya. Untuk itu aliran ini menentang segala bentuk objektivitas dan
impersonalitas dalam bidang yang mengenai manusia, yaitu sebagaimana yang
diekspresikan dalam sains modern dan masyarakat industri (Dwi Siswanto, 2001:
32). Aliran ini merumuskan hubungan manusia secara radikal. Di antara para
filsuf eksistensialis pun dalam merumuskan juga tak jarang terjadi kontroversi.
Filsuf eksistensialis yang secara menonjol berbicara masalah sosialitas
(hubungan antar manusia), antara lain: Martin Buber, Gabriel Marcel, Emmanuel
Levinas, Jean-Paul Sartre.
A.2.2 Individualisme, Liberalisme,
Personalisme
Individualisme. Menurut
individualisme nilai tertinggi manusia adalah perkembangan dan kebahagiaan
individu. Masyarakat (kebersamaan) sematamata merupakan sarana bagi individu
untuk mencapai tujuannya. Masyarakat sekedar melayani individu, contoh
pemikiran ini sebagaimana dikemukakan antara lain oleh Rene Descartes, Thomas
Hobbes, J.J. Rousseau.
Liberalisme
merupakan
perwujudan individualisme dalam bidang social ekonomi-politik. Bagi liberalisme
kebebasan individu adalah nilai tertinggi dalam kebersamaan. Liberalisme
mengharapkan bahwa kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat akan semakin maju
bila bakat-bakat dan tenaga individu semakin dibiarkan berkembang dengan bebas.
Negara harus melindungi kebebasan individu-individu (dan kelompok-kelompok)
dalam masyarakat. Untuk itu kekuasaan negara harus dibatasi dengan ketat.
Dibidang ekonomi liberalism melahirkan sistem kapitalisme yang berdasarkan pada
kebebasan untuk berusaha dan bersaing satu sama lain.
Personalisme,
Paham
atau aliran ini menegaskan bahwa manusia mampu untuk merenungkan kebenaran
abadi, atau secara umum untuk mencapai hubungan dengan kenyataan transenden.
Aliran ini menempatkan arti pentingnya kebebasan pribadi serta keterikatan
pribadi ini dengan masyarakat. Pribadi manusia tidak boleh karam dalam
masyarakat seperti materialisme dialektik. Sebaliknya masyarakat harus diatur
sedemikian rupa, sehingga pribadi manusia dapat terwujud secara bebas. Hal
tersebut tidak berarti bahwa pribadi manusia terlepas dari masyarakat,
melainkan ia hanya tidak ada di dalam, untuk dan melalui masyarakat. Hanya
masyarakat dan pribadi mengakui Tuhan pribadi, amanlah nilai pribadi (Abbagnano,
1967: 72).
Pandangan
individualisme, liberalisme dan personalisme tersebut di atas, dalam
pendapatnya secara prinsipial sama, yakni bertitik tolak dari pandangan bahwa
manusia pada hakikatnya adalah pribadi (persona) yang bernilai pada dirinya
sendiri. Masyarakat tidak merupakan tujuan pada dirinya sendiri melainkan harus
melayani manusia konkrit dalam usaha untuk mengembangkan diri. Pandangan
individualisme, liberalisme dan personalisme tidak (kurang) melihat bahwa
manusia secara hakiki bersifat sosial (manusia itu makhluk pribadi dan
sekaligus makhluk sosial). Hal ini merupakan kelemahan atau kekurangan yang
terdapat dalam aliran-aliran tersebut. Selanjutnya, sebagai solusi peringatan
terhadap kelompok aliran-aliran tersebut diingatkan bahwa masyarakat bukan
suatu tambahan terhadap pendirian individu yang sudah ada. Dalam
individualitasnya manusia hidup dari dan dalam masyarakat. Maka manusia hanya
dapat mencapai tujuannya apabila ia tidak hanya mengitari diri dan
kepentingannya sendiri, melainkan membuka diri pada masyarakat dan mau melayani
sesama. Manusia wajib untuk memperhatikan pada kepentingan bersama terhadap
kepentingan yang semata-mata individual. Negara tidak hanya wajib untuk
melindungi kebebasan masing-masing anggotanya melainkan juga untuk mewujudkan
tanggung jawab semua anggota masyarakat satu sama lain. Untuk itu negara harus
membatasi kebebasan masing-masing anggota.
A.2.3
Kolektivisme, Sosialisme, Totalitarisme
Kolektivisme.
Paham
atau aliran ini mengajarkan bahwa masyarakat merupakan tujuan pada dirinya
sendiri. Individu tidak bernilai pada dirinya sendiri, melainkan hanya sejauh
memajukan keseluruhan. Aliran ini membenarkan bahwa individu dikorbankan demi
tujuan-tujuan politik atau kepentingan ekonomi seluruh masyarakat atau negara.
Sosialisme.
Paham
atau aliran ini muncul merupakan reaksi terhadap liberalisme, revolusi industri
dan akibat-akibatnya. Pada awalnya sosialisme muncul (paruh pertama abad ke-19)
dikenal sebagai sosialis utopia. Dan lebih didasarkan pada pandangan kemanusiaan
(humanitarian), dan meyakinikesempurnaan watak manusia. Sosialisme awal ini
bertujuan meningkatkan, memperbaiki kesejahteraan rakyat, atau memperbaiki
nasib rakyat sebagai anggota masyarakat (berharap dapat menciptakan masyarakat
sosialis yang dicita-citakan) dengan kejernihan dan kejelasan argumen, bukan
dengan cara-cara kekerasan dan revolusi. Pada perkembangan selanjutnya, aliran
ini berkeyakinan kemajuan manusia dan keadilan terhalang dengan lembaga hak milik
atas sarana produksi. Pemecahannya menurut aliran ini: dengan membatasi atau
menghapuskan hak milik pribadi (private property) dan menggantinya dengan
pemilikan bersama atas sarana produksi.
Totalitarisme
merupakan
perwujudan kolektivisme dalam bidang social ekonomi- politik. Totalitarisme
merupakan sistem yang menganggap negara atau penguasa berwenang untuk menata
dan menentukan semua segi kehidupan masyarakat. Misalnya: kehidupan politik
ditentukan oleh elite politik, bidang ekonomi seluruhnya dikuasai negara
(etatisme), begitu pula pendidikan, kehidupan kekeluargaan, kehidupan
keagamaan/kepercayaan dipegang dan ditentukan langsung oleh negara.
Pandangan
kolektivisme, sosialisme dan totalitarisme tersebut di atas, secara prinsipial
bertitik tolak dari pandangan bahwa manusia pada hakikatnya adalah makhluk
sosial. Kebersamaan (masyarakat) merupakan tujuan pada dirinya sendiri.
Individu tidak memiliki nilai pada dirinya sendiri, melainkan sejauh memajukan
keseluruhan. Hal ini merupakan titik kelemahan atau kekurangan yang terdapat
pada pandangan kolektivisme, sosialisme dan totalitarisme.
Sebagai
solusi peringatan terhadap pandangan kelompok aliran tersebut harus dilawan dan
dikatakan bahwa manusia merupakan tujuan pada dirinya sendiri. Masyarakat dan
negara bukan tujuan pada dirinya sendiri, melainkan bertugas untuk memungkinkan
perkembangan dan kesejahteraan masing-masing anggotanya. Oleh karena itu
masyarakat harus melayani manusia yang konkrit. Sebab setiap insan manusia
bernilai pada dirinya sendiri maka tak seorang pun boleh dikorbankan begitu saja
demi kepentingan orang banyak.
Berdasarkan uraian pandangan-pandangan di atas
memperlihatkan bahwa usaha-usaha untuk menempatkan hubungan antarmanusia dalam
suatu system yang tertentu selalu mengalami kegagalan. Oleh karena itu perlu
pandangan yang lebih utuh. Usaha-usaha untuk menguraikan hubungan antarpribadi
haruslah melihatnya dari pelbagai pendapat atau anggapan lalu mencoba
mendamaikan pelbagai ciri yang sungguh ada.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antarmanusia
merupakan sesuatu yang konstitutif dalam eksistensi manusia. Bereksistensi
adalah bereksistensi dengan yang lain. Bereksistensi dengan yang lain ini
kiranya menunjukkan sesuatu yang lebih mendalam daripada berada bersama secara
kelihatan saja. Eksistensi itu juga mencapai Perwujudannya yang paling tinggi dalam
cinta kasih. Karena itu hubungan antarmanusia juga mencapai kesempurnaannya
dalam hubungan yang ditandai oleh cinta kasih. Namun dalam hubungan
antarmanusia yang sempurna seperti itu jarang ditemukan dalam kenyataan. Tidak
jarang hubungan antarmanusia hanya merupakan suatu fungsi yang tertentu, suatu
yang fungsional saja. Hubungan antarmanusia diperlukan suatu kesadaran akan
keduaan serta hubungan antarmanusia yang lebih menyeluruh yang mendasarinya.
Dalam usaha mempertahankan hubungan antarmanusia
itu, ditekankan kemandiriran dari yang lain sebagai subjek. Yang lain adalah
pribadi yang tak terjabarkan, yang harus diterima dalam keberlainannya. Di
samping itu juga menampakkan bahwa yang melibatkan diri dalam hubungan
antarmanusia itu perlu diuraikan lebih lanjut sebagai pribadi yang bertanggung
jawab. Dengan ini
dapat
diharapkan terciptanya suatu pandangan yang lebih utuh, yang memang sangat
dibutuhkan.
Tidak cukup manusia hanya sampai kepada kenyataan
bahwa diri pribadinya merupakan subjek yang otonom. Ia harus menyadari diri
akan adanya sesuatu yang “bukan aku”, yang ternyata martabat dan derajatnya
sama dengan “aku”. Dalam hubungan antar “aku” dengan “aku yang lain” atau antar
“aku” dengan “kau”. Manusia satu sama lain saling bertemu dalam taraf yang
sama,
dalam
taraf sebagai saudara. Sebagaimana telah disampaikan di depan bahwa sosialitas
merupakan salah satu unsur yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Kehidupan manusia dalam kebersamaan bersifat
kodrati, maksudnya manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang saling
membutuhkan, dan harus saling tolong-menolong dalam memenuhi kebutuhan dan
menyelesaikan masalah kehidupan masing-masing, dan bersifat terbuka. Manusia
harus menjalin hubungan antara yang satu dengan lainnya, yang hanya akan
terwujud bila saling mengerti dan saling menghormati, saling menangkap sebagai
subjek yang sama martabatnya (Nawawi, 1995: 148-149). Dengan kata lain, manusia
hanya akan berhasil mewujudkan kehidupan bersama secara harmonis, dalam suasana
saling mengasihi dan saling menyayangi. Pertemuaan kehidupan bersama yang harmonis
itu hanya akan berhasil/terjadi dalam ruang dan waktu tertentu yang disebut
masyarakat sebagai satu kesatuan sosial. Kesatuan organisasi dari masyarakat
yang terbesar adalah negara; sedangkan sebagai satuan yang terkecil adalah
keluarga.
Manusia dan masyarakatnya bukan merupakan dua
realitas yang asing satu sama lain, yang saling mempengaruhi dari luar,
melainkan membentuk horizon dinamis dalam hubungan yang dialektis. Keduanya
merupakan lapangan kerjasama dengan dorongan dialektis, saling memajukan dan
saling memperkembangkan . Untuk itu kemajuan manusia merupakan hasil kerjasama antar
manusia bukan hasil seseorang. Sebagai konsekuensinya, manusia dan masyarakatnya
merupakan dua momen itu saling melengkapi atau komplementer. Manusia itu pada
dasarnya tidak hanya “ko-eksistens”, melainkan juga “kooperans”. Konkritnya,
dalam kehidupan bersama (masyarakat) harus terdapat keteraturan antara anggota
masyarakat. Keteraturan itu diatur dengan prinsip “solidaritas” dan
“subsidiaritas”.
Solidaritas adalah
prinsip yang menggambarkan sikap adanya kepedulian setiap pribadi individu
(keluarga wajib) untuk memberikan sumbangan kepada kelompok (masyarakat).
Sumbangan itu berujud tanggung jawab bagi kesejahteraan bersama (umum), seperti
rasa memiliki kelompok, rasa wajib berpartisipasi di dalamnya, kesediaan
membela kehormatan masyarakat. Dengan kata lain, manusia hanya menjadi diri
sejauh ia dalam korelasi dengan yang-lain, terutama dengan manusia lain. Dalam
korelasi itu, setiap pribadi individu harus mempromosikan kemanusiaan orang
lain, untuk menjadi manusia seoptimal mungkin. Setiap manusia menjadi
bertanggung jawab bagi sesama. Solidaritas dirumuskan sebagai keadilan sosial.
Subsidiaritas adalah
prinsip yang menggambarkan sikap adanya rasa wajib bagi kelompok (masyarakat)
untuk mengakui dan memberikan tempat dan fungsi kepada masing-masing anggota
(pribadi-individu), dan atau keluarga. Fungsi itu wajar dan sebaik mungkin
(moral), masing-masing anggota menurut kemampuan dan kesanggupannya, yang dapat
dilaksanakannya dengan tanggung jawab dan inisiatif (Suseno, 1988: 307-308;
Bakker, 1993: 8). Jadi otonomi dari masing-masing pribadi individu (keluarga)
yang merupakan bagian dari masyarakat tidak akan hilang. Subsidiaritas
dirumuskan sebagai keadilan distributif.
Pelaksanaan prinsip solidaritas dan subsidiaritas
itu akan menjadikan seluruh warga dalam masyarakat mencapai kesejahteraan umum,
kesejahteraan seluruh warga hidup bersama. Pelaksanaan prinsip-prinsip itu,
berarti pengembangan persona-individu (keluarga) dan kelompok (masyarakat).
Kesejahteraan umum itu merupakan aspek formal dari setiap kehidupan sosial.
Kesejahteraan umum merupakan aspirasi dan inspirasi persona-individu dan
kelompok yang selalu diusahakan dalam masyarakat. Untuk mewujudkan
prinsip-prinsip tersebut atau untuk mewujudkan tata nilai yang dapat
menimbulkan kesejahteraan hidup bersama itu perlu ada suatu kaidah, aturan atau
norma hidup masyarakat. Hal itu dimaksudkan supaya kepentingan satu pihak tidak
saling berbenturan dengan pihak lain. Sehingga terjadinya keserasian antara
kepentingan individu yang satu dengan individu lainnya.
Yang dimaksud norma hidup masyarakat adalah segala
tata nilai, ukuran baik-buruk yang dipakai sebagai pengarah, pedoman, pendorong
perbuatan manusia di dalam kehidupan bersama. Tata nilai, ukuran baik-buruk itu
untuk mengatur bagaimana seharusnya seseorang melakukan perbuatan, dalam rangka
mencukupi kebutuhan hidupnya (Sunoto, 1983: 40-41) sehingga kesejahteraan umum
(bersama) tercapai. Paling tidak terdapat dua macam aturan atau norma hidup
masyarakat dalam rangka mengatur kesejahteraan umum , yakni norma hukum
(yuridis) dan norma moral (etis).
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan di atas dapatlah
ditunjuk hakikat dan dasar yang terdalam dari sosialitas.
Pertama,
apakah sosialitas itu? Sosialitas dapat dibedakan menjadi dua, yakni sosialitas
transendental dan sosialitas fenomenal. Sosialitas transcendental adalah “di
atas” segala fenomen, akan tetapi terlaksana dalam tiap-tiap realisasi dialektis.
Sosialitas fenomenal adalah bentuk-bentuk konkrit, dengan mana kita menjalankan
sosialitas transendental. Sosialitas transendental jangan dipandang seolah-olah
di samping sosialitas fenomenal. Istilah transendental tidak berarti, bahwa
sosialitas transendental itu ada tersendiri, terpisah. Seperti persona tidak ada
di samping badan, akan tetapi mem-badan, demikianlah juga sosialitas transendental
itu tidak ada di luar atau di samping fenomen atau konkritisasinya. Akan tetapi
tidak pernahlah akan habis dengan seribu satu realisasi, seperti persona juga
tidak terbatas dalam caranya menampakkan diri. Hal ini dapat disamakan dengan
cinta-kasih manusia. Yang juga “immanent” (artinya terlaksana) dalam tiap-tiap
ekspresinya, akan tetapi juga “transendent”, artinya tidak mungkin dihabiskan
dengan ekspresi mana atau berapapun juga. Dengan kata lain dapat dikatakan
sosialitas transendental adalah persona atau pribadi sendiri dipandang menurut
hubungannya dengan sesama pribadi. Sosialitas transendental adalah
persona-sebagai-peng-ada-bersama, atau sepanjang bersatu dengan lain-lain
pribadi. Sedangkan sosialitas fenomenal adalah pengejawantahan dari sosialitas
transendental. Sosialitas fenomenal atau sosialitas-sebagai-fenomen itu adalah
dialektik dari sosialitas transendental.
Kedua, kesosialan
yang secara kodrati melekat pada setiap manusia menggambarkan bahwa pada saat
yang sama manusia adalah makhluk yang berada dalam jaringan hubungan dengan manusia
lain. Tetapi dalam pelaksanaan yang konkrit setiap manusia (orang) memiliki
keunikan sendiri sebagai individu: ia memiliki kemampuan, potensialitas dan
keterbatasan. Semuanya ini menjadikannya khas. Ia mempunyai “nama”
sendiri-sendiri. Kesosialan manusia mewujudkan diri dalam kebudayaan: bahasa
sebagai alat komunikasi dan ekspresi; pranata-pranata sosial; organisasi sosial
(masyarakat, negara dan berbagai bentuk kerjasama). Manusia mampu mengetahui
dirinya lewat manusia lain; dan hanya dapat mewujudkan dirinya dengan
bekerjasama dengan manusia lain.
Ketiga, sejalan dengan
paparan kedua dan tujuan hidup manusia dalam masyarakat-negara dapatlah kami
simpulkan, bahwa prinsip dasar yang ideal dalam sosialitas (hubungan
antarmanusia) adalah cinta-kasih, solidaritas dan subsidiaritas.
DAFTAR
PUSTAKA
Siswanto, Dwi. 2001, Humanisme
Eksistensial Jean-Paul Sartre, Philo- sophy Press, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar