Minggu, 16 September 2012

TUGAS TERSTRUKTUR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Makalah Korupsi di Indonesia


TUGAS TERSTRUKTUR
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


Unsoed 

Disusun Oleh :
ILHAM                                   ( F1A011048 )


KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PURWOKERTO
2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Lukisan deskriptif melukiskan korupsi itu apa adanya. Kita menggumpulkan fakta, data, ataupun membuat statistik tentang korupsi atau kita mengadakan penelitian tentang korupsi itu. Mengadakan penelitian tentang korupsi di Indonesia tentulah sangat sulit, lagi pula menelan biaya yang tidak terkira.
Korupsi dalam statistik kriminal atau perkara dapat dilihat di Kejaksaan Agung, di Markas Besar keKpolisian RI, dan biro pusat statistik, tetapi terbatas mengenai perkara korupsi yang diputus oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung. Statistik di kepolisian hanya sampai pada perkara-perkara yang dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri karena Kejaksaan Negeri tidak teratur memberi data kepada kepolisian tentang penyelesaian suatu perkara sampai pada putusan pengadilan.
Korupsi merupakan tantangan serius dalam pembangunan, merongrong demokrasi dan tata pemerintahan, mengurangi akuntabilitas dan representasi dalam kebijakan, menghambat penegakan hukum, menghasilkan ketidakadilan dalam penyediaan layanan, dan mengikis kapasitas kelembagaan pemerintah karena pengabaian prosedur. Sektor publik menekankan bahwa pemerintahan yang baik memerlukan standar tertinggi dalam integritas publik, keterbukaan, dan transparansi, serta sistem keadilan hukum.

Namun hal itu tidak terlaksana secara menyeluruh. Ada Kejaksaan Negeri yang mengirim pemberitahuan tentang kelanjutan penyelesaian suatu perkara, ada pola yang tidak melakukannya.
Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.Gaung pemberantasan korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di Indonesia.
            Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju adil dan makmur. Untuk tercapainya tahap lepas landas ekonomi lebih cepat dari pertumbuhan penduduk, sehingga korupsi memang dianggap masyarakat sebagai momok yang paling berbahaya di Indonesia.


B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Apa sebab orang melakukan perbuatan korupsi di Indonesia?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    ASAL KATA PENGERTIAN HARFIAH DARI KORUPSI
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio (Fockema Andreae: 1951) atau corruptus  (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua.
 Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris: Corruption, corrupt; Prancis: corruption; dan Belanda corruptie. Dapat kita memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Indonesia: ’’korupsi’’.
Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, pemyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti dapat dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary.
Meskipun kata corruptio itu luas sekali artinya, namun sering corruptio dipersamakan artinya dengan pernyuapan seperti disebut di dalam ensiklopedia Grote Winkler Prins (1977).
Kemudian kata korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpulkan oleh Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia: ’’Korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sgok dan sebagainya’’ (Poerwadarminta, 1976).
Di Malaysia terdapat peraturan anti korupsi. Di situ tidak dipakai kata korupsi melainkan kata peraturan ’’anti-kerakusan’’. Sering pula di sana dipakai istilah resuah yang tentulah berasal dari bahasa Arab (riswah), yang menurut kamus Arab-Indonesia artinya sama dengan korupsi (Abd. Bin Nuh et.al.: tanpa tahun).
Dengan pengertian secara harfiah itu dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah sangat luas artinya.
Seperti disimpulkan dalam Enclyclopedia Americana, korupsi adalah suatu hal yang buruk dengan bermacam ragam artinya, bervariasi menurut waktu, tempat dan bangsa.
Dengan demikian, pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacam ragam pula, dan artinya sesuai pula dari segi mana kita meendekati masalah itu. Pendekatan sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Al-atas dalam bukunya The Sociologi of Corruption, akan lain artinya kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik ataupun ekonomi.
Begitu pula Mubyarto (yang rupanya menyorot korupsi/penyuapan dari segi politik dan ekonomi seemata), mengutip pendapat Smith (Teodore M. Smith,   ”Corruption Tradition and Change”, Indonesia, Cornell University, No. 11 April 1971) sebagai berikut:
  ”On the whole corruption in Indonesia appears to present more of a recurring political problem than an economic one. It undermines the legitimacy of the government in the eyes of the young, educated elite and most civil servants….. Corruption reduces support for the government among elites at th province and regency level” ( Secar keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi) pemerintah dimata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada umumnya…. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan kabupaten) (Mubyarto. 1980:60).
            Lebih tegas lagi apa yang dikatakan oleh Gunnur Myrdal (1977:166) sebagai berikut:
  “The problem is of vital concern to the government of South Asia, because the habitual practice of bribery and dishonesty paves the way for an authoritarian regime which justifies it self by the disclosures of corruption and the punitive action it takes against the offenders. Elimination of corruption has regularly been advance as main justification for military take overs”. ( Masalah itu (korupsi; penulis) merupakan suatu yang penting di Asia Selatan, karena kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidakjujuran membuka jalan kepada penguasa otoriter, yang membenarkan dirinya dengan jalan membongkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan pembenar utama terhadap kup militer).
Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington:
   ”akan tetapi tidak berani bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini mengganggu stabilitas politik, asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai polotik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampongkan, tidak diberi untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau jika kolonel-kolonel dalam angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pangkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jendral, maka sistem tersebut akan mudah digoncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakat seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas” (Huntington 1977, dalam Moctar lubis dan james C. Scott, Bunga Rampai karangan-karangan mengenai Etika Pegawai Negeri:133).
            Tentang titik tolak analisa ekonomi (pasar) mengenai korupsi, Mubyarto (ibid: 65), mengutip definisi Clive Gray (”Civil service Compansation in Indonesia”; BIES, Vol. XV, No. 1, March 1979), dan memberi komentar:
   ”Dengan definisi korupsi demikian, maka sogokan, uang siluman atau  pungli tidak lain merupakan ”harga pasar” yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali ”membeli” barang tertentu. Dan barang barang tertentu itu yang akan dibeli berupa keputusan, izin, atau secara lebih tegas : tanda tangan. Secara teoritis harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunnya permintaan dan penawaran, dan setiap kali akan terjadi ”harga keseimbangan”. Karena dalam model ekonomi pasar, juga ada pengertian ”harga diskriminaasi” maka dalam pasaran tanda tangan pejabat juga ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan ”ekonomi kuat” dan golongan ”ekonomi lemah”.

  1. SEBAB ORANG MELAKUKAN PERBUATAN KORUPSI di INDONESIA
Ada beberapa sebab terjadinya perbuatan korupsi di Indonesia antara lain:
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Mengenai masalah  kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negri di Indonesia telah dikupas oleh B.Soedarso yang menyatakan antara lain:
“pada umumnya orang menghubungkan tumbuh suburnya dengan sebab yang paling gampang dihubungkan, misalnya kurang gaji pejabat-pejabat, buruknya ekonomi, mental pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajement yang kacau yang menghasilkan adanya prosedur yang berliku-liku dan sebagainya”.
            Kemudian B. Soedarso rupanya sadar bahwa semua sebab yang disebutnya itu tidaklah mutlak, maka ia merumuskan uraiannya di alinea lain sebagai berikut:
“banyak faktor yang saling bekerja dan saling mempengaruhi satu sama lain sampai menghasilkan keadaan yang kita hadapi. Yang dapat dilakukan hanyalah mengemukakan faktor yang saling berperan. Causaliteits redereningen harus sangat berhati-hati dan dijauhkan dari gegabah. Buruknya ekonomi belum tentu dengan sendirinya menghasilkan suatu wabah korupsi di kalangan pejabat kalau tidak ada faktor-faktor lain yang bekerja. Kurangnya gaji bukanlah faktor-faktor yang menenntukan orang berkecukupan banyak yang menentukan korupsi. Prosedur yang berliku-liku bukanlah pula hal yang perlu di tonjolkan karna korupsi ini meluas di bagian-bagian yang sederhana, dikelurahan, dikantor penguasa-penguasa kecil, di kereta api, di stasiun-stasiun, di loket penjualan karcis, kebun binatang dan sebagainya”. (B. Soedarso 1969:10,11).

            Namun demikian kurangnya gaji pegawai negeri memang faktor yang paling menonjol dalam arti merata dan meluasnya korupsi di Indonesia. Hal ini dikemukakan pula oleh Guy J. Pauker dalam tulisannya berjudul ”Indonesia 1979: The record of three decades” (Asia Survey Vol. XX No.2, 1980:123).
        

         Begitu pula yang ditunjuk oleh Schoorl dengan mengatakan:
“Di Indonesia dibagian pertama tahun enam puluhan situasinya begitu merosot, sehingga untuk golongan-golongan besar dari pegawai sebulan hanya sekedar cukup untuk makan dua minggu. Dapat dipahami, bahwasituaasi demikian itu para pegawai terpaksa mencari penghasilan tambahan dan bahwa banyak diantara mereka mendapatkannya dengan uang ekstra” (Schoorl, 1980: 180).
            Apa yang ditulis Schoorl ini  didengarnya sendiri ketika berkunjung ke Indonesia pada permulaan tahun 1966.
2. Latar Belakang Kebudayaan Indonesia
            Ada juga penulis yang menunjuk latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia yang merupakan sumber atau sebab meluasnya korupsi. Soedarso yang menunjuk  beberapa penyebab dari korupsi selanjutnya menguraikan panjang lebar tentang latar belakang kultur ini. Antara lain dikatakan:
“Dalam hubungan meluasnya korupsi di Indonesia maka apabila miliu itu ditindak lanjut, maka yang perlu diselidiki tentunya bukan kekhususan miliu orang satu per satu, melainkan yang secara umum meliputi,  dirasakan dan mempengaruhi kita semua orang Indonesia. Dengan demikian,mungkin kita bisa menemukan sebab-sebab masyarakat kita dapat menelorkan korupsi sebagai way of life dari banyak orang, mengapa korupsi itu secara diam-dian ditoleler, bukan oleh penguasa ,tetapi oleh masyarakat sendiri . kalau masyarakat umum mempunyai semangat anti korupsi seperti para mahasiswa pada waktu melakukan demonstrasi anti korupsi,maka korupsi sungguh-sungguh tidak akan dikenal.” (B. S oedarso 1969:14).
            Pendapat ini mirip pendapat syed Hussein al-atas yang mengatakan bahwa mayoritas masyarakat yang tidak melakukan perbuatan korupsiseharusnya berpartisipasi dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh minoritas. Cara ini disebut siskampling (sistem keamanan lingkungan).
            Lebih lanjut B. Soedarso meneruskan pula secara panjang lebar tentang sejarah kultur Indonesia mulai zaman multatuli, waktu penyalahgunaan jabatan merupakan suatu sistem. Ditulisnya:
   “Selama dalam jabatan ( maksudnya :melaporkan kejahatan-kejahatan yang telah dilakukan oleh Bupati lebak dan wedana parangkuan (Banten  selatan) kepada atasannya dan meminta supaya terhadap mereka ini dilakukan pengusutan. Menurut Douwes Dokker, Bupati tersebut telah menggunakan kekuasaan melebihi daripada yang telah ditentukan oleh peraturan, untuk memperkaya diri. Dalam keadaan social seperti yang telah dibentangkan dimuka, dalam suasana ketololan pikiran tentang hubungan penguasa dengan rakyat, maka kejahatan yang timbul diantara penguasa dengan sendirinya adalah penyalahgunaan untuk memperkaya diri dengan memfaatkan kebodohan serta onderdanigheid penduduk. Tentu saja disini perlu sekali lagi di ingat bahwa yang dimaksud dengan penyalahgunaan adalah menurut ukuran modern, ukuran kultur yang telah menelorkan KUHP, sebab dalam rangka pandangan kuno tidak ada pengertian penyalahgunaan kekuasaan.
   Apa yang menurut ukuran baru adalah penyalahgunaan kewibawaan, kekuasaan dan wewenaang, pada waktu itu terjadi stelsel, korupsi menjadi sistem” (Ibid:25).
            Mungkin pertanyaan diatas terlalu berani, namun dari sejarah berlakunya KUHP di Indonesia penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia oleh pejabat-pejabat memang telah diperhitungkan secara khusus oleh pemerintah. Hal ini nyata disisipkannya pasal 432 KUHP (kejahatan-kejahatan knevelarij) dalam KUHP karena dengan pasal yang ada dalam Ned. W.v.s . mengenai knevelarij yaitu pasal 366 (= pasal 425 KUHP),dipandang kurang memadai untuk masyarakat indonesia yang pejabat-pejabatnya cenderung  untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk menguntungkan diri sendir. Pasal 366 Ned. W.v.S. mengandung salah satu unsur yaitu in de uitoefening zijner bedizening (pada waktu melaksanakan jabatannya) yang menyatakan bahwa pejabat atau pegawai negri melakukan kejahatan “pada waktu melaksanakan jabatannya”. Padahal bagi banyak pejabat atau pegawai negeri Indonesia sulit ditentukan kapan ia melaksanakan jabatannya. Lain dari pejabat atau pegawai negeri di belanda, ia bisa melaksanakan jabatannya dimana dan kapan saja (Van’t Hof, tanpa tahun).
            Memang benar pejabat atau pegawai negeri Indonesia dapat saja melaksanakan jabatannya dirumahnya sendiri dan memang rakyat akan menikmatinya karena keterbelakangannya, hal mana tidak akan terjadi di Belanda.  Demikianlah maka dalam pasal 423 KUHP itu kata-kata in de uitoefening zijner bedizening tidak terdapat. Kedua pasal 423 da 425vKUHP itu dikenal dengan nama knevelarij yang menurut terjemahan KUHP buah tangan Moeljatno 1979 diterjemahkan dengan ”pemerasan”, oleh Engelbrecht dengan ”kerakusan” , Susilo dengan Sunarto dengan ”pemintaan pemaksa” sedangkan kitab undang-undang hukuman terbitan balai pustaka tahun 1940 menerjemahkannya dengan ”perbuatan aniaya”. Mirip dengan dengan ini Supatro menerjemahkannya ”aniaya dengan pendayaan serta dengan menjepit”(Cassuto, 1931). Terjemahan-terjemahan ini akan diuraikan pada bagian belakang tulisan ini, khususnya pada penggupasan pas 423 dan 425 KUHP itu.
3. Manajemen Yang Kurang Baik dan Kontrol Yang Kurang Efektif dan Efisien
            Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu akan memberi peluang orang untuk korupsi. Sering dikatakan makin besar anggaran pembangunan sering besar juga kemungkinan terjadinya kebocoran.
            Kelihatannya pemerintah, khususnya Menteri Penertiban Aperatur Negara dan Operasi tertib telah memperhatikan hal ini, yang nyata pada peningkatan frekuensi pendidikan dan latihan di kalangan pejabat yang bergerak di bidang pengawasan. Atas kerja sama antara Menteri Aparatur negara dan Opstib, dan lembaga Administrasi Negara telah selesai dididik semua unsur pemeriksa pada Inspektorat Jendral Departemen dan Lembaga Negara, Pemerintah I dan II dalam tahun 1979-1980, sebanyak 25 angkatan secara keseluruhan.dalam kurikulumnya tercantum selain masalah management dan control, juga terdapat mata pelajaran tindak pidana korupsi. Begitu pula sekolah staf dan pimpinan administrasi (SESPA)  sejak tahun 1980-1981 bertemakan : ”peningkatan built in control dalam rangka sistem pengawasan terpadu bagi kebutuhan pembangunan nasional”. Sejak itu kurikulumnya antara lain ”Tindak Pidana Korupsi”. Untuk itu para pengawas dan pemeriksa dibekali pengetahuan tentang masalah korupsi khususnya dalam rangka hukum pidana.
            Sehubungan dengan maksud ini dikeluarkan pula keputusan Presiden No.18 tahun 1981. satu dan lain ialah agar pelaksanaan pembangunan pada umumnya dan APBN pada khususnya berjalan lancar dan bebas dari hambatan ataupun kebocoran seperti korupsi.

4. Modernisasi
            Ada pula penulis yang mengatakan penyebab korupsi ialah Modernisasi. Huntington menulis:
   ” korupsi terdapat dalam masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu dengan yang lain, dan dalam masyarakat yang  sedang tumbuh korupsi lebih umumdalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari sana-sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat” (Huntington 1977, dalan Mochtar Lubis dan Scott: 121).
         Mengapa modernisasi mengembangbiakkan korupsi, jawabannya menurut Huntington sebagai berikut:
a.       Modernisasi membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat.
b.      Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber-sumber kekayaaan dan kekuasaan baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak diatur oleh norma-norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat, sedangkan norma-norma baru dalam hal itu belum dapat diterima oleh golongan-golongan berpengaruh dalam masyarakat.
c.       Modernisasi merangsang korupsi karena perebahan-perubahan yang diakibatkan dalam bidang kegiatan sistem politik. Modernisasi terutama di negara-negara yang memulai modernisasi lebih kemudian, memperbesar kekuasaaan pemerintah dan melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan pemerintah.
Mengenai akibat korupsi ada dua pendapat. Ada yang mengatakan korupsi itu tidak selalu berakibat negatif, kadaf-kadang berakibat positif, manakala korupsi itu berfungsi sebagai uang pelicin seperti fungsi minyak pelumas pada mesin. Pendapat pertama ini banyak dianut oleh peneliti barat. (Schoorl, 1980 : 184).
Pendapat yang kedua mengatakan bahwa korupsii itu tidak pernah membawa akibat positif, seperti Gunnar Myrdal yang mengatakan antara lain:
1)      Korupsi memantapkan dan memperbesar masalah-masalah yang menyangkut kurangnnya hasrat untuk terjun di bidang usaha dan mengenai kurang tumbuhnya pasaran nasional.
2)      Korupsi mempertajam permasalahan masyarakaat plural sedang bersamaan dengan itu kesatuan negara bertumbuh lemah. Juga karena turunnya martabat pemerintahan, tendensi-tendensi itu membahayakan stabilitas politik.
3)      Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin sosial. Uang suap itu tidak hanya memperlancar  prosedur administrasi, tetapi berakibat juga adanya kesengajaan untuk memperlambat proses administrasi agar dengan demikian  dapat menerima uang suap. Disamping itu, pelaksanaan rencana-rencana pembangunan yang telah diputuskan, dipersulit atau diperlambat karena alasan-alasan yang sama. Dalam hal itu Myrdal bertentangan dengan pendapat yang lazim, bahwa korupsi itu harus dianggap sebagai semir pelicin (Schoorl, 1980:184;Myrda., 1977:166, 167, 170).
Myrdal menyebut negara-negara di Asia Selatan sebagai the soft state dimana merajalelanya korupsi merupakan salah satu aspek dan pada umumnya mengakibatkan disiplin sosial yang rendah. Korupsi merupakan hambatan besar bagi pembangunan (ibid:170,171).
Koentjarningrat pun memandang korupsi sebagai salah satu kelemahan dalam pembangunan. Beliau mengatakan:
”Jelaslah bahwa banyak yang masih harus kita rubah kalau kita hendak mengatasi penyakit-penyakit  sosial budaya yang parah seperti krisis otoriter, kemacetan administrasi, dan korupsi menyeluruh yang mengganas dalam masyarakat kita dan jangan biarkan korupsi menguasai diri kita”.
ANALISA SAYA
            Saya dapat menerima pendapat Gunner Myrdal sepenuhnya bahwa jalan untuk memberantas korupsi di negara Indonesia adalah:
1.      Menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah;
2.      Menaikkan moral pegawai tinggi;
3.      Legalisasi pungutan liar menjadi pendapat resmi atau legal;
4.      Presiden harus memberi contoh yang baik.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.      KESIMPULAN
Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak mudah memang.
2.      SARAN
Tindakan korupsi di Indonesia memang sudah menjamur dari dahulu sampai sekarang dan untuk membrantas korupsi di Indonesia  dibutuhkan tekad dan keberanian yang tinggi. Maka kita sebagai mahasiswa sekaligus menjadi harapan bangsa janganlah mempraktekan kegiatan korupsi dan ayo kita sama-sama memberantas korupsi dari induknya sampai akar-akarnya.


PENUTUP
            Semua segala yang diuraikan didalam tulisan ini bermanfaat bagi kalangan teori dan praktek hukum, dan semoga kalangan luas tergugah pula untuk memikirkan jalan terbaik untuk memberantas korupsi di Indonesia.
  
DAFTAR PUSTAKA
Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya , Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.








0 komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About